Seorang kawan yang secara finansial memiliki segalanya, mulai dari rumah di komplek bergengsi, mobil yang tergolong wah, serta jabatan mentereng di perusahaan cukup ternama, tiba-tiba saja menghubungi saya pada sebuah pagi yang cerah.
Obrolan dimulai dari pertanyaan dia seputar aktivitas yang biasa saya lakukan setiap pagi. Ketika saya jelaskan rentetan kegiatan saya mulai dari bangun tidur hingga olahraga pagi sebelum akhirnya menikmati sarapan pagi dengan jus dan singkong goreng, kawan saya menyatakan kecemburuannya.
Di balik kesuksesannya mengumpulkan pundi-pundi duniawi, sang kawan ternyata menurutnya gagal mendapatkan kebahagian menikmati pagi. Menurutnya, setiap pagi ketika matahari baru saja menampakan diri, dia harus tergesa-gesa untuk tiba di tempat kerjanya.
Jangankan untuk berolahraga pagi, menyempatkan untuk menemani anak sarapan saja tak bisa. Setiap pagi selama bertahun-tahun lamanya sang kawan larut dalam rutinitas. Rutinitas itu membuat batiniah sang kawan kelelahan.
Mendengar pernyataan kawan itu, saya tersadar, ternyata keberhasilan mengumpulkan harta dan jabatan yang acap dijadikan tolok ukur kesuksesan itu harus didapat dengan mengorbankan rasa bahagia. Pertanyaannya kemudian, untuk apa harta berlimpah dan jabatan tinggi jika harus kehilangan kebahagiaan?
Di hari yang sama, sebelum sang kawan menelepon, saya berpapasan ketika hendak lari pagi dengan seorang anggota satpam di tempat saya tinggal. Dia menyapa saya sambil melemparkan senyum sumringah ke arah saya. Dari hand phone merek China yang dipegangnya, terdengar suara lagu “Slank” mengalun. Di samping tempat duduknya ada segelas kopi dan tiga buah goreng pisang. Dia terlihat penuh gembira menikmatinya.
Mengingat sang kawan yang mentereng dan anggota satpam komplek itu, saya meyakini mereka tak juga mewakili kelompok mereka. Tak selamanya juga orang yang berhasil mengumpulkan pundi duniawi harus kehilangan kebahagiaan menikmati pagi, begitu pun sebaliknya.
Namun dari dua orang itu saya menjadi yakin dengan apa yang dikatakan Milan Kundera lewat tokoh Bartleff, seorang seniman yang berhasil menjadi hartawan dalam “The Farewell Party”.
“Di negeri ini orang tidak menghargai pagi. Mereka bangun bergegas, dikagetkan oleh bel yang berbunyi dari jam mereka, lalu semua segera menghambur dalam kegiatan yang tak menyenangkan,” ucap Bartleff.
Sikap mereka yang memperlakukan pagi seperti itu menurut Bartleff adalah sikap kasar. Bagaimana mungkin, kata Bartleff, hari yang baik dapat dimulai dengan sikap tak pantas itu.
“Percayalah padaku, karakter orang ditentukan oleh pagi yang biasa mereka hadapi,” kata Bartleff kembali.
Rutinitas dewasa ini memang telah menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat industri. Mereka tak sadar jika mereka–seperti diungkap Valentinus Saeng dalam Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global–telah menjadi korban penghisapan dan perampasan kemerdekaan.
Lepas dari teori tentang kelas masyarakat, hanya dalam setiap pagi kita selalu menemukan hal-hal yang masih tampak baru. Udara yang masih segar, harapan dan semangat baru, pun parfum yang dikenakan masih tercium wangi menusuk hidung.
Jika pada pagi hari kita menemukan hal-hal baru itu, masihkah kita tega merampasnya dengan hal yang sia-sia??