Pertentangan antara kelompok ponggawa dan kelompok pangeran dalam Kesultanan Banten merupakan peristiwa abadi dalam kurun waktu 1596 – 1609. Mereka terus berlomba untuk mendudukan “wakil” mereka untuk menjadi wali raja, atau menjatuhkan wali raja yang tak mewakili kelompok mereka masing-masing.
Rubrik Babad Banten kali ini, redaksi Banten Hits akan meneruskan cerita yang terjadi dalam Kesultanan Banten setelah pengangkatan Pangeran Chamarra sebagai Wali Raja Banten. Seluruh tulisan bersumber dari Buku Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, karya Claude Guillot.
Pengangkatan Pangeran Chamarra sebagai hasil kompromi antara kaum pangeran dengan kaum ponggawa, meski akhirnya pengangkatan itu justru tak memuaskan kedua belah pihak. Maka, kaum pangeran dan kaum ponggawa di Banten kembali “berlomba” untuk menjatuhkan kekuasaan Pangeran Chamarra.
(BACA JUGA: Pengangkatan Pangeran Chamarra dan Ambruknya Wibawa Wali Raja Banten)
Meski Pangeran Chamarra berasal dari kelompok pangeran, namun kelompok pangeran menyadari jika hal tersebut merupakan kemenangan semu buat mereka. Selain tidak mampu menunjukan wibawa terhadap orang asing, Pangeran Chamarra juga tak mampu menundukan kelompok ponggawa.
Berangkat dari kondisi tersebut, kelompok pangeran kemudian memutuskan untuk melakukan sebuah perlawanan. Untuk mencapai tujuan mereka itu, mereka memilih untuk menggoyahkan kegiatan perdagangan dengan tak henti-hentinya membakar kota. Target pembakaran ini ditentukan secara teliti yakni, kawasan perdagangan internasional besar: Pacinan, tempat berdiam orang Eropa dan syahbandar.
Selain Pacinan, mereka juga membakar mereka juga membakar kawasan perdagangan di sekitar pasar besar di bagian timur kota yang antara lain terbakar lima kali dalam tiga bulan. Istana raja juga disebut tak luput dari aksi pembakaran. Para pelaku pembakaran menggunakan panah berapi yang dilontarkan ke atap-atap jerami.
Pelaku pembakaran itu di bawah pimpinan Pangeran Mandalika, saudara laki-laki dari almarhum raja (Maulana Muhamad). Untuk lebih merugikan lagi oligarki pedagang-pedagang dan juga untuk mengobarkan pemberontakan dengan membuat ibu kota kelaparan, Pangeran Mandalika melancarkan aksi di sekitar Banten pada bulan September 1604 untuk mengejar-ngejar jung-jung dagang.
Wali raja yang semula tak pernah bertindak akhirnya mengambil keputusan. Dia menuntut Mandalika untuk mengembalikan jung-jung dan muatannya. Namun keputusan yang jarang ditunjukan ini, malah mendorong Mandalika ke pemberontakan yang terbuka. Mandalika dan semua pangeran yang berpihak kepadanya mempertahankan diri di dalam kota.
Wali raja yang tak mampu mengatasi pemberontakan itu seorang diri, kemudian meminta bantuan dari raja Jakarta yang pernah berhutang budi kepada wali raja saat hendak menduduki tahta di Jakarta.
Pada tanggal 30 Oktober pangeran Jakarta tiba dengan memimpin 1.500 orang bersenjata, disusul dengan 1.000 lainnya kemudian. Selain pasukan dari pangeran Jakarta, disebutkan pula para Tumenggung meminta bantuan dari Inggris dengan pengerahan artileri.
Menghadapi kekuatan tersebut, kepala pemberontak Mandalika menyerah dan menerima untuk pergi ke pengasingan diikuti oleh hanya tiga puluh pengikutnya…..