Akal Bulus dan Strategi Kuda Troya Yunani

Date:

Istilah Kuda Troya, sering saya dengar terutama kaitannya dalam dunia politik. Saya baru benar-benar mengetahui sejarah Kuda Troya hingga kemudian dua kata itu lekat dengan dunia politik, setelah membaca ulasan Seno Gumira Ajidarma dalam Politik Kuda Troya (Tempo, 21/4/2014).

Dalam tulisan itu Seno menyebut Kuda Troya sebagai sebuah strategi yang mengacu pada perebutan Kota Troya dalam mitologi Yunani. Diceritakan, Yunani nyaris frustasi karena tak mampu merebut Kota Troya, meski sudah melakukan pengepungan selama sepuluh tahun. Para pahlawan Yunani sudah banyak yang tewas, tapi orang-orang Troya tak kunjung menyerah.

Kemudian, atas saran Odysseus, orang Yunani membangun sebuah patung kuda raksasa. Para tentara Yunani masuk ke dalam patung kuda tersebut.

Keesokan harinya, orang-orang Troya melihat perkemahan Yunani sudah kosong. Mereka hanya melihat  patung kuda raksasa dan seorang warga bernama Sinon yang ditinggal seorang diri bersama patung kuda raksasa. Mereka lalu bertanya tentang patung kuda raksasa itu kepada Sinon, seorang yang diketahui seorang pembicara fasih yang disiapkan Yunani.

Sinon menjelaskan, patung itu adalah sebuah persembahan supaya Yunani bisa terhindar dari kemarahan Athena. Konon, Kemarahan itu hanya bisa ditebus dengan darah.

Orang-orang Troya yang percaya dengan cerita Sinon, kemudian membawa patung kuda raksasa itu ke dalam Kota Troya dengan maksud supaya Troya terhindar dari kemarahan Athena.

Setelah patung kuda berada di dalam Kota Troya, saat tengah malam ketika seluruh orang-orang Troya tertidur lelap, bala tentara Yunani kemudian keluar dari dalam patung kuda raksasa itu. Mereka dengan mudah bisa melumpuhkan orang Troya, hingga akhirnya sukses menguasai Kota Troya.

Lepas dari kesimpulan yang dicatatkan Seno dalam tulisan soal Kuda Troya itu, saya semakin meyakini jika politik adalah soal strategi atau seni untuk mengatakan yang bukan sesungguhnya.

Dalam percakapan sehari-hari–terutama di kalangan orang Betawi–strategi mengelabui musuh dikenal dengan istilah akal bulus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, juga dalam Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi yang ditulis Abdul Chaer, akal bulus adalah tipu muslihat yang licik.

Tipu muslihat ini biasanya ditempuh karena perang secara terbuka tak mungkin dilakukan mengingat ketangguhan si korban tipu muslihat itu. “Kuda Troya menjelaskan, betapa pertempuran bukanlah melulu pertempuran frontal berhadapan seperti di arena, tetapi juga serangkaian taktik dan manuver….sehingga pihak lawan merasa tak berhadapan dengan lawan,” tulis Seno.

Mengenai frase, “sehingga pihak lawan merasa tak berhadap dengan lawan”, Seno mengelaborasi dalam kesimpulan selanjutnya sebagai penyusupan. “Suatu serangan gelap dari dalam jauh lebih mematikan daripada suatu pertarungan yang jujur…”, tulis Seno lagi.

Soal penyusupan, kembali merujuk cerita orang Betawi, saya pernah menonton film Samson Betawi yang diperankan almarhum Benyamin Sueb. Kegagahan Samson Betawi, mendadak rontok setelah bulu ketiak Samson Betawi dicukur habis oleh perempuan yang sudah berhasil membuat Samson Betawi tergila-gila. Bukan tidak mungkin, perempuan dalam cerita Samson Betawi itu adalah orang yang disusupkan lawan-lawan Samson Betawi yang nyaris frustasi menghadapi kekuatan Samson Betawi yang tak tertandingi.

Dalam suasana “perang”, pihak yang “berperang” tak bisa memungkiri tuntutan untuk berhati-hati terhadap orang-orang yang berada di lingkaran terdekat sekalipun. Meski mereka tak mungkin melakukan pengkhianatan, bisa saja mereka menjadi korban yang dimanfaatkan oleh “lawan”. Mereka lazim disebut “konduktor” (“penghantar” atau “penghubung”) untuk misi terselubung itu.

Untuk “perlawanan gelap dari dalam” istilah musuh dalam selimut mungkin lebih pas untuk digunakan. Perempuan pencukur bulu ketiak Samson Betawi, tepat untuk menjadi gambaran.

Dalam “perang”, semua pihak memang dituntut bertindak jujur. Namun, pihak-pihak yang berperang juga tak bisa menghindari strategi-strategi dan manuver seperti Kuda Troya, akal bulus, dan musuh dalam selimut…

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Menjulangnya Keadaban Bangsa

Gunung Nur berdiri tegak menjulang persis di sebelah kanan...

Kebangkitan Nasional, Kopi, dan Revolusi

20 Mei 1908 silam, organisasi Boedi Oetomo berdiri. Dua...

Garin Melawan Zaman; Menghidupkan (Lagi) Nilai Kebangsaan

Para pembaca dan penggali sejarah bangsa, kiranya mengenal HOS...

Manusia Modern, Kecemasan, dan Kapitalisme

Nyaris saban hari selama kurun 2013 hingga Februari 2015...