Mauk, Lasykar Hitam, dan Sejarah yang Masih Kelam

Date:

 

Mauk, sebagai salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tangerang, lokasinya berada di Utara pesisir pantai Laut Jawa. Sebagai daerah pesisir laut–seperti juga daerah lainnya–masyarakat Mauk berasal dari beberapa etnis dan suku, seperti etnis Tionghoa, suku Jawa, Sunda, dan Betawi.

Klenteng Pekong Soe Kong atau Tjho Soe Kong yang didirikan di sekitar pantai Tanjung Kait, diyakini merupakan peninggalan umat Konghucu pada abad 17 silam. Klenteng ini menjadi salah satu penanda, di tempat ini pernah menjadi pusat sebuah kebudayaan besar.

Dalam rubrik Babad Banten edisi kali ini, redaksi Banten Hits mencoba menuliskan sejumlah informasi dan fakta sejarah yang memiliki keterkaitan dengan Mauk. Tulisan ini bersumber dari kajian kepustakaan, baik yang tercetak dalam bentuk buku, maupun hasil pencarian di internet.

Dari cerita penduduk sekitar, ada dua versi berbeda yang menyebutkan asal mula nama Mauk. Versi pertama menyebutkan, Mauk adalah berasal dari sebuah nama pejuang Tionghoa yang ikut berjuang untuk Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pejuang keturunan Tionghoa tersebut bernama Ma Uk. untuk mengenang jasanya, maka nama Ma Uk dijadikan nama untuk tempat yang hingga kini disebut Mauk.  

Versi selanjutnya menyebutkan, kata Mauk berasal dari kata Mawuk yang berarti mau ke seseorang atau mabuk cewek. Entah bagaimana hubungannya, kata tersebut dikaitkan dengan nama Pangeran Mas Kali Mangun Jaya Kusuma. Dia disebut-sebut sebagai pejuang di tatar Tangerang Utara yang tak lain merupakan kakak dari Nyimas Melati.

Penduduk sekitar memberi sebutan Ki Mauk kepada Pangeran Mas Kali Mangun Jaya Kusuma. Karenanya, pada makam Pangeran Mas Kali Mangun Jaya Kusuma yang berada di Kampung Jawaringin Kurung, Kecamatan Mauk, terdapat penanda berupa papan makam bertuliskan keramat Buyut Mawuk. Pemerintah Kabupaten Tangerang sendiri sudah menetapkan tempat tersebut sebagai situs cagar budaya.

Lepas dari asal mula penyebutan nama Mauk, di tempat ini pernah terjadi sebuah peristiwa nasional karena melibatkan seorang tokoh Nasional asal Jawa Barat, R. Otto Iskandar Dinata yang dikenal dengan sebutan Si Jalak Harupat.

Pada tanggal 20 Desember 1945, R. Otto Iskandar Dinata dibunuh di pesisir Mauk–tempat ini diyakini sebagai Pantai Ketapang, Mauk–oleh sekawanan yang menyebut kelompok Lasykar Hitam. Aca, salah seorang anggota kelompok Lasykar Hitam yang melakukan eksekusi pembunuhan itu.

Peristiwa yang menimpa R.Otto Iskandar Dinata tersebut berawal dari datangnya surat telegram dari Jakarta pada awal Desember 1945 kepada R.Otto Iskandara Dinata yang saat itu sedang berada di Bandung. Telegram tersebut menyebutkan, R.Otto Iskandar Dinata diminta datang ke Jakarta untuk menghadap pemerintah pusat.

Kenyataannya, pemerintah pusat saat itu tak pernah meminta R.Otto Iskandar Dinata untuk menghadap. R.Otto Iskandar Dinata yang saat itu tengah berada di rumahnya di Jalan Kapas, Nomor 2, Jakarta, diculik oleh kelompok Lasykar Hitam.

Kelompok Lasykar Hitam yang melakukan penculikan terhadap R.Otto Iskandar Dinata tersebut terdiri dari Mujitaba, berasal dari Teluk Naga; Usman, berasal dari Kampung Bayur; Lamping, Mukri, dan Enjon yang berasal dari Sepatan.

Menurut penuturan mereka, setelah diculik dari rumahnya, R.Otto Iskandar di Nata ditahan di Tanah Tinggi, Kota Tangerang selama lima hari (10-15 Desember 1945). Dari tanah tinggi R.Otto Iskandar di Nata kemudian dipindahkan ke Mauk, hingga akhirnya dieksekusi pada 20 Desember 1945.

Hingga saat ini, motif sesungguhnya dari penculikan dan pembunuhan terhadap R.Otto Iskandar di Nata masih menjadi misteri dan belum terkuak secara jelas.

Dilihat dari konteks arena perjuangan R.Otto Iskandar di Nata, sejarah Tangerang, dan suasana revolusi kemerdekaan Indonesia, sikap dan langkah R.Otto Iskandar di Nata tidak berhubungan langsung dengan daerah Tangerang. Karenanya, sangat tidak mungkin masyarakat Tangerang memiliki dendam terhadap R.Otto Iskandar di Nata.

Yang paling memungkinkan, inisiatif penculikan dan pembunuhan terhadap R.Otto Iskandar di Nata itu, dilakukan oleh pihak tertentu dari kalangan pemimpin perjuangan Indonesia sendiri yang menaruh curiga dan khawatir serta menilai R.Otto Iskandar di Nata sebagai sosok berbahaya bagi kepentingan diri dan kelompok mereka dalam lingkungan pemerintahan Republik Indonesia masa itu dan masa mendatang.(Rus)

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Mengungkap Sebab Kantor Dagang VOC Pertama di Indonesia Didirikan di Banten

Berita Banten - Kapal-kapal dagang Belanda untuk pertama kalinya...

Hujan Mulai Basahi Bumi Banten, Pemprov Bersiap Percepat Musim Tanam Padi

Berita Banten - Pemerintah Provinsi atau Pemprov Banten bersiap...

Menyibak Masa 1696 di Jakarta; Warganya Telah Melek Aksara dan Banten Jadi Penyuplai Buku-buku Agama

Berita Banten - Ahkmat bin Hasba, seorang ulama menyampaikan...

Banteng Banten dalam Kisah Perempuan yang Ambisius Duduki Tahta Kerajaan

Berita Banten - Kronik sejarah Banten tak melulu mengisahkan...