Sriwigati Facebooker Sejati

Date:

TIDAK sedikit pun terbersit  dalam benak Sriwigati, bertemu kembali dengan laki-laki yang telah hilang dari pikirannya sejak puluhan tahun silam. Laki-laki yang pernah menulis dalam secarik kertas, serta menorehkan kisah sebait cerita roman tanpa judul dalam alur perjalanannya, sebelum dinikahi oleh Sasmito. Ya, guru Biologi yang juga pengajar teater, pandai membikin puisi, dan sekarang menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

Sebenarnya, jauh sebelum Sasmito memperisteri Sriwigati, bahkan sebelum dia bertemu, kenal, serta mencumbuinya di kamar kost sebelum menjadi isterinya, laki-laki ini sudah terlebih dahulu berangan-angan tentang dirinya. Dia lah perempuan yang setiap hari akan membuatkan secangkir kopi, menyiapkan sarapan, mencuci baju-baju seragam, serta memijit-mijit punggungnya menjelang tidur malamnya. Dia pula perempuan yang akan mengandung benih, melahirkan, serta membesarkan anak-anaknya yang lucu dan menyenangkan di kemudian hari.

TIDAK sedikit pun terbersit  dalam benak Sriwigati, bertemu kembali dengan laki-laki yang telah hilang dari pikirannya sejak puluhan tahun silam. Laki-laki yang pernah menulis dalam secarik kertas, serta menorehkan kisah sebait cerita roman tanpa judul dalam alur perjalanannya, sebelum dinikahi oleh Sasmito. Ya, guru Biologi yang juga pengajar teater, pandai membikin puisi, dan sekarang menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

Sebenarnya, jauh sebelum Sasmito memperisteri Sriwigati, bahkan sebelum dia bertemu, kenal, serta mencumbuinya di kamar kost sebelum menjadi isterinya, laki-laki ini sudah terlebih dahulu berangan-angan tentang dirinya. Dia lah perempuan yang setiap hari akan membuatkan secangkir kopi, menyiapkan sarapan, mencuci baju-baju seragam, serta memijit-mijit punggungnya menjelang tidur malamnya. Dia pula perempuan yang akan mengandung benih, melahirkan, serta membesarkan anak-anaknya yang lucu dan menyenangkan di kemudian hari.

Namun, setelah sekian lama laki-laki itu menghilang tanpa kabar, Sriwigati pun langsung membuat kesimpulan, bahwa laki-laki ini pasti sudah mempunyai pengganti selain dirinya. Satu, dua, tiga, bahkan mungkin lebih. Karena seperti kabar yang sudah beredar, laki-laki ini tak lebih dari seorang don juan. Play boy. Ya, play boy cap gayung, katanya. Dari situlah, setelah sekian lama laki-laki ini tidak pernah menyambangi, Sriwigati memutuskan dirinya rela dijadikan pacar oleh Sasmito.

Kini, bayangan laki-laki ini kembali menggagahi pikiran perempuan yang sudah sekian lama melupakannya itu. Laki-laki ini hadir seperti mimpi. Tiba-tiba saja dia meng-Add namanya dalam akun facebooknya. Setelah dikonfirmasi, dia juga sangat rajin, serta selalu muncul memberikan tanda jempol, dan mengkomentari statusnya di jejaring sosial ciptaan Mark Zuckerberg itu.

Sejak itu pula Sriwigati merasa seperti mendapat mainan baru. Dia jadi sangat rajin nongkrong di warung internet sebelah rumah. Yang biasanya hanya dua atau tiga hari sekali—kini setiap kali sedang tidak ada jadwal mengajar di sekolah, dalam satu hari bisa sampai tiga atau empat kali. Sekadar Update status, menunggu acungan jempol, komentar, atau berbagi cerita. Sriwigati jadi facebooker sejati. Yang tentu saja, semua itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari Sasmito—menunggu setelah dia pergi ke kantor, atau sedang keluar entah ke mana.

Lewat facebook itu juga, kepada laki-laki itu Sriwigati menceritakan tentang keadaannya yang sekarang. Dia menceritakan dirinya yang sekarang, sudah menjadi seorang guru. Meskipun belum sebagai pegawai negeri, namun dia sudah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah. Maklum saja, hidup di negeri yang memble ini harus berani mengeluarkan uang berjuta-juta untuk menyogok jika ingin lekas diangkat menjadi pegawai negeri. Pun demikian, bagi dirinya belajar hidup berbahagia dengan segala apa yang dimiliki tentu saja akan jauh lebih penting, ketimbang menjalani hidup bergelimang gengsi yang mengelabuhi ketidakmampuannya dengan setumpuk uang. Yang terkadang, semua itu tidak tahu dari mana sumbernya.

“Alhamdulillah mas, saya sekarang sudah menjadi guru, meskipun masih honor. Yach, tadinya ngajar di dua sekolah.Tapi sekarang saya memutuskan untuk mengajar di satu sekolah saja. Yaitu sekolah tempat dimana saya mendapatkan sertifikasi. Maklum, hidup di negeri mbelgedes seperti ini, untuk supaya cepat diangkat jadi pegawai negeri harus menyogok. Aneh ya, mengabdi saja harus pakai nyogok. Dasar, negeri sogok menyogok,” katanya.

*

Untuk kesekian kalinya setelah dia berteman dengan laki-laki itu di dunia maya. Sriwigati meng-updute kembali statusnya di warung internet sebelah rumah. Tetapi, sudah lebih dari satu jam dan billing menunjukkan angka empat ribu limaratus rupian, laki-laki itu belum juga muncul memberikan acungan jempol, berkomentar, atau menuliskan apa yang sedang ia pikirkan. Hanya tulisan dua puluh empat jam yang lalu, empat puluh delapan jam yang lalu, sembilan puluh enam jam yang lalu, serta tulisan yang sudah pernah dia baca dan dikomentari sebelumnya.

Kemana laki-laki ini? Atau, mungkin saja sedang ke toko buku. Mencari kamus bahasa Indonesia, mencari anonim agar dapat menuliskan kata-kata mutiara yang indah untuk update status—dan supaya banyak dikomentari serta diacungi jempol oleh para facebooker yang lain?

Sriwigati masih asik di hadapan monitor berukuran empat belas inc di warung internet sebelah rumah. Sambil cengar-sengir sendiri dia menuliskan beberapa kata tentang apa yang difikirkan. Sesekali mengeklik tanda jempol dan mengkomentari beberapa tulisan dari teman yang sama.

Tiba-tiba sebuah berita terbaru muncul dari dinding akunnya. Ya, sebuah berita antar dinding. Tulisan itu dari laki-laki yang pernah menjadikannya pacar puluhan tahun yang lalu. Kali ini laki-laki itu membuatkan sebuah cerita dalam catatannya. Cerita ini dia berinama cerita pendek tanpa judul.

Sriwigati pun mulai membaca catatan bekas pacarnya itu:

Laki-laki ini memulai ceritanya dari seorang perempuan cantik bertubuh ramping, berkulit sawo matang dan berrambut lurus. Perempuan yang mengenakan T-shirt berwarna ping serta celana pendek berwarna putih bermotip hawai. Perempuan ini duduk seorang diri: di atas batu, di sekitar padang ilalang, di dekat kuburan cina, di kaki bukit yang menyerupai perahu terbalik. Wajahnya terlihat murung, muram seperti mendung di ujung senja yang berselimut kabut.

 
Disini, diceritakan:

Empat minggu yang lalu, di desa sebelah selatan bukit itu, untuk terakhir kalinya perempuan ini bertemu dengan laki-laki tambatan hatinya. Setelah itu, laki-laki itu menghilang entah ke mana. Sejak itulah perempuan ini lebih suka menghabiskan hari-harinya di kaki bukit di sekitar kuburan cina itu. Tak banyak yang dia lakukan memang: selain hanya duduk, merenung dan terkadang bernyanyi-nyanyi sendiri, atau menuliskan bait-bait puisi di atas bebatuan. Dari pagi, siang bahkan sampai senja melangkah memasuki bibir malam, dia baru beranjak meninggalkan tempat ini.

Diceritakan pula:

Untuk kesekian kalinya perempuan ini duduk sendiri di tempat ini, tiba-tiba saja dari atas bukit seekor elang melengking mengisyaratkan alam. Seketika pula awan yang berpencar berkumpul dilangit sekitar padang ilalang dan desa-desa di kaki bukit. Siang yang pijar itupun berubah menjadi redub, nyaris gelap tertutup mendung. Disusul suara guntur menggelegar, seiring jatuhnya tumpahan air hujan dari atas langit yang semakin kelabu. Seketika itu pula, perempuan ini berlari ke sebuah bangunan kuburan cina yang beratap seperti rumah.

Dalam cerita ini, di bawah atap bangunan kuburan cina itulah perempuan ini dipertemukan dengan seorang laki-laki. Laki-laki ini adalah laki-laki yang selalu memperhatikan serta mengawasinya sejak kehadirannya di tempat ini. Laki-laki ini juga, laki-laki yang selalu mengintip sambil melakukan onani di balik semak-semak di sekitar padang ilalang di dekat kuburan cina di kaki bukit, sambil membayangkan dirinya. Oleh laki-laki itu, laki-laki ini diberi nama Sasmito. Ya, Sasmito, sama persis dengan nama suami Sriwigati.

Entah, alur cerita model apa yang laki-laki itu tuliskan. Kok tiba-tiba saja perempuan itu sudah hidup bersama laki-laki ini. Diceritakan juga, mereka mengikat janji dan beranakpinak di sebuah desa di sebelah selatan bukit yang tak jauh dari tempat terakhir kali dia bertemu dengan laki-laki bekas tambatan hatinya itu. Dan dikatakan pula, laki-laki yang disebut-sebut sebagai Sasmito itu pun tidak lagi menyetubuhi dirinya sendiri di semak-semak sekitar padang ilalang sambil membayangkan tubuh perempuan ini.

*

Siang, matahari menggantung di atas ubun-ubun kepala. Hawa panas menyengat ke seluruh permukaan planet buminya dipijak. Sebuah kabar memberitakan, musim kemarau tahun ini, curah hujan akan relatif lebih sedikit, bahkan nyaris tidak ada lagi. Itu artinya fenomena alam mengalami masa elnino atau kemarau panjang. Semua akan menjadi gersang, karena sumber air sulit didapat—kering kerontang oleh suhu udara yang jauh lebih tinggi dari batas normal.

Sriwigati semakin membara di hadapan monitor berukuran empatbelas inc, di warung internet sebelah rumah. Dalam ruangan yang pengap, tak ber-AC dan hanya disejuki oleh kipas angin mirip baling-baling, kata-demi kata ia rangkai untuk mengkomentari cerita yang ditulis oleh laki-laki itu. Bukan untuk mengkomentari alur cerita serta bahasanya yang sok nyastra—atau mengajaknya bercanda seperti komentar-komentar sebelumnya. Namun, jauh dari itu, tokoh Sasmito dalam cerita ini telah memantik dan menyulut emosinya untuk berkomentar dengan kalimat-kalimat memaki.

“Wah, sialan! Ngawur kamu! Sasmito itu kan suamiku! Ngaco aja kamu, masa suamiku dibilang onani! Dasar kampret!! Brengsek!!” Sriwigati tidak terima, masa suaminya dibilang tukang onani?

Tetapi sudah berjam-jam: sampai billing pada monitor di hadapannya menunjukkan angka dua puluh ribu lima ratus rupiah, sampai bokongnya serasa pedas, sampai boyoknya terasa pegal, dan sampai ke dua bola matanya perih oleh pantulan cahaya monitor, laki-laki itu tak kunjung juga mengkomentari kembali tulisannya. Entah kemana laki laki ini?

Hm, ternyata laki-laki itu telah sign outh dan meng-show down komputernya. Apakah yang sebenarnya telah terjadi? Oh, rupa-rupanya Sasmito juga telah lebih dahulu melabrak status laki-laki ini sebelum isterinya sempat membalas kembali tulisan-tulisannya. Sejak Sriwigati menancapkan bokongnya di hadapan monitor di warung internet sebelah rumah itu, tanpa sepengetahuan isterinya, diam-diam Sasmito juga telah menyelinap di dalam warung internet dan duduk di kamar bersebelahan tak jauh dari Sriwigati. Dari situlah Sasmito mengetahui kalau selama ini isterinya sering main facebook dengan bekas pacarnya itu.

Terang saja dia marah. Apalagi setelah dia membaca catatan tulisan laki-laki itu pada berita antar dinding  di akun isterinya, amarahnya meledak-ledak semakin hebat.

Dengan muka ditekuk, Sasmito menjewer telinga Sriwigati dan lansung menyeretnya untuk segera pulang.

”Pantas saja selama ini kamu ndak pernah komentar di statusku?” kata Sasmito dengan muka memerah. Kepada Sriwigati pula Sasmito menyarankan untuk segera memblokir dan tidak lagi berkomunikasi dengan laki-laki ini. Dia juga mangancam akan minggat meninggalkan dirinya jika dia masih terus berhubungan.

Sriwigati pun mendengarkan apa yang Sasmito sarankan. Saking nurutnya, kini dia hanya main facebook dengan suaminya. Tetapi tidak lagi di warung internet sebelah rumah, melainkan menggunakan seluler mirip Blackberry bermerek China. Kini, setiap kali ada teman yang sama mengkomentari status tulisannya, dia juga tidak berani lagi menanggapinya, malah langsung menghapus sebelum tulisan itu dibaca oleh Sasmito.

Dari situ pula, meskipun Sasmito tidak sedang online, Sriwigati selalu membuka status dan meng-update di dinding akun suaminya itu. Atau, hanya sekedar melihat, atau membaca puisi dalam catatannya—sampai berulang-ulang, bahkan sampai dia hafal dengan puisi-puisi itu.

Kini, setiap hari: sebelum dan sesudah mandi, sebelum dan sesudah makan, sebelum dan bangun tidur—dia selalu membaca puisi-puisi Sasmito yang sudah mengelotok kering di batok kepalanya. Bahkan saat dia nongkrong di atas klosetpun, puisi-puisi ini dia baca dalam hati dengan dahi kerut-merut sambil mengeluarkan isi perut. Setiap kali meracik bumbu-bumbu masakannya, puisi-puisi itu juga seolah ikut berbaur di antara garam, ketumbar, bawang merah serta cabai yang dibeli di warung Sutinah. Tak hanya itu saja, puisi-puisi itu juga seakan ikut menjadi lalapan yang disantap bersama gorengan lele dari empang belakang rumah. Ya, lele-lele yang setiap pagi ditongkrongi anaknya, keponakan serta anak-anak tetangga yang takut duduk di kloset jongkok. (*

Satelit DKI, 27 April 2010

PENULIS:

Widi Hatmoko
Bekerja sebagai Wartawan Banten Raya (Jawa Pos Grup)
Menulis fiksi di media masa lokal, dan nasional.
Aktivitas lain, mengelola Bengkel Kreatifitas Anak Bangsa (BeKAB) di Tangerang

 

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Samudera Hikmah di Balik Tragedi Perang

Banten Hits.com - Saat makan malam dalam acara liburan...

22 Jam Cinta di 22 Januari

Mataku masih saja mencari, seperti anak ayam kehilangan induk...

Kucinta Tanahmu

Engkau, bilang manusia hidup dalam dua sisi yang bertolak...

SAKIT? 3S aja ( Sabar, berusaha, sembuh )

Sakit, bahkan lebih dari sakit. Bangun dari tempat tidur...