Sungai Cibanten yang bersumber dari Gunung Karang, keberadaannya tak hanya sekadar sumber kehidupan bagi masyarakat yang berada di sepanjang aliran sungainya. Sungai Cibanten juga ternyata telah menorehkan jejak peradaban masa lalu yang hingga saat ini masih bisa dinikmati.
Di sepanjang Sungai Cibanten, terdapat situs-situs yang berkaitan dengan berbagai babak perkembangan daerah Banten, yaitu, Kasunyatan, Odel, Kelapadua, Serang dan kota lama Banten Girang. Dalam rubrik Babad Banten kali ini, redaksi Banten Hits akan menyajikan informasi mengenai Banten Girang.
Seluruh informasi yang disajikan dalam pembahasan mengenai Banten Girang bersumber dari buku “Banten Sebelum Zaman Islam. Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? – 1526” yang ditulis Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono.
Banten Girang terletak di pinggiran Kota Serang, kira-kira tiga kilometer di selatan Kaujon, pusat kota lama Serang. Kota ini berkembang mulai paro pertama abad ke-19, setelah orang Belanda menjadikannya pusat pemerintahan daerah itu, dengan maksud melenyapkan arti politik Banten.
Saat ini, untuk mencapai Banten Girang dari Serang, kita dapat berangkat dari Kaujon mengikuti jalan kecil yang menuju ke selatan sampai di Desa Sebulu (atau Sayabulu), kemudian melintasi ladang ke arah timur dan melintasi jurang serta menaiki tanjakan-tanjakan terjal.
Bagi Anda yang menginginkan jalan yang lebih mudah, dari Ciceri Anda mengikuti jalan menuju ke Pandeglang sampai di Desa Sempu, kemudian melewati jalan sejauh kurang lebih seratus meter sampai di Cibanten. Di seberang terletaklah Banten Girang.
Dilihat dari Sempu, situs itu tampak terlihat seperti dataran tinggi tersendiri yang menjulang dari sebuah jurang sedalam lima belas meter akibat tufa vulkanis terkikis sungai. Dataran itu dikelilingi jurang berupa kelokan sungai sepanjang lebih dari separo garis kelilingnya, yaitu di sebelah utara, timur, dan sebagian sebelah selatan.
Depresi yang membatasinya di sebelah barat sekarang ditumbuhi pohon nipah dan di musim hujan menjadi palung sungai sementara, memberi kesan Banten Girang sebagai “benteng” alami.
Sementara di Sempu rumah-rumah berdesakan di tepi sungai, maka dataran tinggi Banten Girang tampak hampir kosong, hanya di sana-sini muncul atap dari tengah-tengah kehijauan. Jembatan gantung kecil dari besi yang dibangun tahun 1950-an untuk menyeberangi sungai, tidak dibuat untuk beberapa yang tinggal di situ–lagi pula saat itu belum ada–melainkan untuk orang luar yang ramai datang menziarahi makam suci yang terletak di seberang sungai.
Setelah kita menyeberangi sungai itu, sampailah kita di semacam bukit kecil dan sempit yang terisolir oleh kelokan sungai. Di sini terdapat makam suci yang berdiri sendiri dan menjadi bertambah gaib lantaran suara risik yang terdengar tak henti-hentinya dari air yang mengalir tak kelihatan di bawahnya. Sesungguhnya, hanya ujung tanah ini bersama keramatnyalah yang oleh penduduk sekitar dimaksudkan dengan nama Banten Girang.
Tempat ini bersejarah dan suci karena berbagai alasan. Di balik makam diduga terdapat watu gilang (batu yang bersinar), tahta Pucuk Umun, ratu-pandita “Hindu” yang terakhir di Banten Girang. Cungkup bangunan yang sudah sering diperbaiki di tempat itu, adalah sebuah bangunan dari bata berisi dua makam yang dianggap sebagai kakak beradik yakni, Ki Jong dan Agus Jo. Keduanya penduduk Banten Girang yang pertama masuk Islam dan menjadi pengikut paling setia dari raja Islam yang pertama, Hasanudin. Kemungkinan seorang tokoh dijadikan dua, yaitu Ki Jongjo yang cukup baik dikenal dari babad setempat (Sajarah Banten).
Menurut naskah tersebut, Ki Jongjo adalah seorang punggawa penting dari Pakuan yang ditempatkan di Banten Girang. Ketika Hasanudin datang ke kota itu untuk mengislamkan dan menguasainya, Ki Jongjo langsung memihak kepadanya dan masuk agama Islam. Beberapa waktu kemudian–sesudah kota diduduki bala tentara Muslim dari Demak, pada tahun 1526 – 1527–Hasanudin sebagai penguasa Baru Banten Girang, tidak melupakan bantuan yang diberikan Ki Jongjo kepadanya. Hasanudin mengangkat Ki Jongjo menjadi mahapatih atau tumenggung.
Selain keramat Banten Girang, ada juga makam keramat lainnya di tempat ini yang disebut dengan Asem Reges. Tempat lainnya yang menjadi kesatuan di Banten Girang adalah Telaya, Pandaringan, Banusri, dan Alas Dawa…