Apa kabar Taufik Ismail? Maestro sastra Indonesia berusia 78 tahun ini ternyata masih tampil gagah, melahirkan dan membacakan puisi untuk anak Indonesia.
Taufik hadir di Jambore Perpustakaan ke II 2013 di Lapangan Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel beberapa waktu lalu. Dia terlihat tertegun, melihat deretan mobil perpustakaan keliling yang berada di kanan kiri panggung acara tersebut.
Apa kabar Taufik Ismail? Maestro sastra Indonesia berusia 78 tahun ini ternyata masih tampil gagah, melahirkan dan membacakan puisi untuk anak Indonesia.
Taufik hadir di Jambore Perpustakaan ke II 2013 di Lapangan Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel beberapa waktu lalu. Dia terlihat tertegun, melihat deretan mobil perpustakaan keliling yang berada di kanan kiri panggung acara tersebut.
“Saya membayangkan, anak-anak di setiap pelosok Tangsel bisa membaca dan mendengarkan cerita. Ini sebenarnya seperti mewujudkan cita-cita saya yang saya tuangkan dalam karya saya ‘Kupu-Kupu di Dalam Buku’,” katanya sembari terus melihat ke arah mobil perpustakaan keliling.
Tak jauh berbeda dengan masanya muda, penerima penghargaan Anugerah Seni Indonesia 1970 ini mengaku masih tetap beraktivitas dengan sastra Indonesia. Taufik mengaku masih aktif di Majalah Sastra Horison, sejak awal didirikannya.
“Sastra memang sudah jadi lahir batin. Saya tetap melahirkan karya, menulis sastra, itu dilakukan kalau saya miliki waktu yang benar-benar berkualitas,” ungkapnya.
Namun untuk membacakan puisi, Taufik mengaku paling bersemangat. Dia akan mengangguk mantap bila diminta mengisi acara membacakan puisi karyanya di depan hadapan umum, terutama anak muda.
Bersama sahabatnya almarhum WS Rendra, dia pernah berkeliling ratusan sekolah untuk membacakan puisi dan mengajarkan bagaimana cara melahirkannya.
“Total 250 sekolah di seluruh Indonesia. Rendra yang paling bersemangat saat itu, semangatnya masih melekat di dalam diri saya,” kenangnya.
Menurutnya, tak akan lahir mahakarya dari anak muda Indonesia, bila anak mudanyanya tak menumbuhkan minat membaca. Taufik pun sempat miris, saat dia mengetahui sekolah tak lagi berperan aktif dalam membudayakan membaca untuk siswanya.
“Murid bukan lagi diajarkan apa itu alfabet, kenalkan mereka bagaimana membaca, kemudian melahirkan karya. Ajarkan saja mengarang, mereka akan cinta dengan sastra,” pungkasnya.(Rus)