Bingkai Senja

Date:

“akhirnya kamu sadar juga neng”. Sapanya ketika pertama kali aku membuka mata di atas pembaringan ranjang beralaskan selimut putih di tengah-tengah sebuah ruangan kotak berdindingkan cat yang bewarna selaras dengan selimut.

Mulanya remang-remang, ketika pertama kali ku buka kedua mata perlahan – lahan dan mengintari seluruh isi ruangan. Aku berhasil menangkap sesosok wanita tua yang badanya kini mulai membungkuk, rambutnya yang kini mulai memutih itu terlihat dari helai-helainya yang keluar dari dalam jilab yang ia kenakan. Kulitnya yang kini mulai mengeriput membuat lapisan-lapisan dan goresan-goresan kecil di raut wajahnya yang sayu, lemah, seperti berhari-hari tidak merasakan nyenyaknya tidur.

“akhirnya kamu sadar juga neng”. Sapanya ketika pertama kali aku membuka mata di atas pembaringan ranjang beralaskan selimut putih di tengah-tengah sebuah ruangan kotak berdindingkan cat yang bewarna selaras dengan selimut.

Mulanya remang-remang, ketika pertama kali ku buka kedua mata perlahan – lahan dan mengintari seluruh isi ruangan. Aku berhasil menangkap sesosok wanita tua yang badanya kini mulai membungkuk, rambutnya yang kini mulai memutih itu terlihat dari helai-helainya yang keluar dari dalam jilab yang ia kenakan. Kulitnya yang kini mulai mengeriput membuat lapisan-lapisan dan goresan-goresan kecil di raut wajahnya yang sayu, lemah, seperti berhari-hari tidak merasakan nyenyaknya tidur.

Sudah aku tutup telinga ku dari pekik menyebalkan yang setiap hari selalu di teriakan oleh kedua orang tua ku. Jika tidak di pagi hari, siang harinya mereka akan ribut, jika tidak siang hari, sore dan malam harinya mereka akan ribut, selalu begitu setiap hari bergulir mewarnai rumah ku yang kelam.  Aku benci dengan situasi ini, ingin rasanya lari, kabur, dari pekik menyebalkan yang selalu meraung-raung di sekujur hari-hariku. Sudah ku tutup telingaku, sudah ku tutup sekujur tubuhku dengan selimut agar tak bisa ku dengar lagi ocehan orang tua ku. Tapi tetap saja pertengkaran mereka selalu terdengar ke kamar ku, bahkan mungkin hingga kerumah tetangga sebelah. Dan yang paling menyayat hati, aku mendengar sebuah kata yang terlontar dari mulut ayah ku yang begitu menggetarkan hati ku yang kalut, CERAI !

Sontak aku menangis sembari berlari menggendong tas yang telah aku sediakan untuk kabur dari rumah seminggu yang lalu. Aku benar-benar sudah tidak kuat lagi mendengar dan menyaksikan pertarungan diantara mereka, dan mungkin hari ini adalah puncak semua kekalutan itu, jika perceraian adalah hal terbaik untuk mereka, apa hal terbaik untuk anaknya?
Ketika aku berlari mendobrak pintu keluar sembari menggendong tas yang tak ringan itu mereka mungkin tidak menyadarinya karena sibuk bercekcok.

Pikiran ku kalut, kacau tak tahu arah harus melangkah kemana. Yang ada dalam pikiran ku saat itu hanya ingin keluar dari rumah itu berlari kemana saja angin menyambut dan mengarahkan ku. Senja di sore itu menemani air mata ku, matahari mulai tenggelam dan aku masih belum tahu harus kemana. Aku tidak membawa handphone dan dompet, hanya kebetulan aku menemukan dua lembar uang sepuluh ribuan di saku celana ku dan aku tak tahu harus menggunakanya untuk apa.

Kini aku telah letih berlari, aku palingkan muka ke seliling ku, semua orang sibuk dengan hidupnya masing-masing. Dan aku berada di tengah-tengah kesibukan itu merasa hidup sebatang kara di bumi yang pengap ini. Di Kota Rangkasbitung ini, aku dan keluarga ku hidup mandiri tanpa ada sanak saudara yang kami punya, dan itu membuat aku semakin galau untuk melangkah. Ketika aku berdiri tak tau mau kemana, sebuah bus jurusan Rangkasbitung-Serang lewat di depan ku. Tanpa fikir panjang langsung aku naik ke bus itu tanpa arah dan tujuan.
Aku duduk di bangku paling depan sendirian di pinggir kaca sambil terus menangis. Tangisan ku membawa ku terlelap dan tidur. Tiba-tiba seorang laki-laki membangunkan ku dan menagih ongkos bus lima belas ribu. Aku langsung membayarnya dan bertanya.

“ini sudah sampai mana ya pa?”

“ini di terminal Serang neng, pemberhentian terakhir, silahkan turun”

“oh terimakasih pak” balas ku sambil menggendong tas dan turun dari bus.

Saat itu aku memilih untuk beristirahat di mushola samping terminal bus. Tak terasa aku berlari begitu jauh dari rumah ku di Leuwidamar hingga sekarang dengan menaiki bus aku sampai di terminal Serang, mungkin saking kalutnya hati ini hingga aku berlari terus menerus tanpa tau arah pergi. Ku sandarkan tas gendongku ke pinggir tiang dan menghempaskan tubuh ku di atasnya, meluruskan kaki ku yang terasa pegal, aku mencoba untuk mengatur nafas ku perlahan-lahan dan berfikir tenang atas kelanjutan hidupku berikutnya.

Saat aku duduk di dinding mushola seorang nenek menghampiri dan menjajakan gorengan jualanya. Ada bakwan, gehu, tempe, cireng, dan lain-lain. Gorengan itu membuat perutku keroncongan, melihat uang yang ada disaku ku tinggal lima ribu rupiah lagi, aku tidak jadi membeli gorengan itu, tapi tanpa di sadari, aku malah bercerita mengapa aku ada di mushola itu. Semua mengalir begitu saja, hingga akhirnya adzan maghrib pun mengumandang dan nenek penjual gorengan itu mengajak ku untuk pergi keruamhnya, di ajaknya untuk menginap barang semalam saja katanya.

“tidak usah repot-repot nek, terimakasih atas ajakanya, tapi saya ga berani nginep di rumah nenek, malu, nanti malah merepotkan” tolak ku dengan bahasa yang halus agar ia tidak tersinggung.

Tapi ia terus memaksa ku, aku pun tak enak untuk menolaknya, lagian aku tak tahu lagi harus pergi kemana, ya sudah, aku ikut saja ke rumah nenek penjual gorengan itu.
Aku terhenyak, aku berada di sebuah rumah atau yang lebih pantas di sebut gubuk. Sebuah ruangan pengap yang ketika membuka pintunya kita langsung berhadapan dengan sebuah kasur tikar yang kusam dan dekil, satu buah televisi 5inc di pinggirnya, di ruangan lainya aku menemui sebuah dapur yang sesak di penuhi berbagai perabotan rumah tangga yang sudah tidak terurus dan rumah itu tanpa wc.

“ayo neng masuk, maaf kalau kontrakan nenek hanya seperti ini adanya” ajak nenek gorengan itu mengagetkan ku yang terhenyak menyaksikan rumah nenek gorengan tersebut.

Aku duduk di atas tikar kasur tersebut dan menyimpan tas gendong ku. Nek Ijah, nama nenek penjual gorengan itu menawarkan ku sepiring nasi dengan 2 bakwan sisa jualan hari tadi. Berhubung lapar, langsung saja aku lahap nasi itu. Di malam harinya kita banyak bercerita. nek ijah hidup seorang diri dirumah kecil itu, suaminya telah meninggal dan ia tidak mempunyai seorang anak. Dan pada akhirnya atas kesepakatan bersama aku pun tinggal berdua dengan nek ijah di rumah kontrakan itu.

Di keesokan harinya dan hari-hari berikutnya aku membantu nek ijah menjajakan gorengan buatanya, biasanya nek ijah berjualan keliling di daerah terminal.  Aku mulai menikmati profesi baru ku dari seorang mahasiswi berubah menjadi penjual gorengan.

Tak terasa satu tahun berlalu aku tinggal bersama nek ijah. Malam itu aku bersender di depan bale-bale rumah nek ijah sambil membantu nek ijah membuat adonan terigu untuk membuat gorengan esok hari.

“nek, ko orang tua saya nggak mencari saya ya? Setidak berharga itu kah saya untuk mereka? Sampai-sampai mereka tidak perduli dengan saya, saya ada dimana, saya sedang apa, saya bersama siapa, mereka tidak sedikit pun berusaha mencari saya” tutur ku perlahan dengan nada pilu sambil meneteskan airmata yang terjatuh begitu saja. Nek ijah langsung menghapus airmataku dan berkata.

“jangan bicara seperti itu neng, orang tua neng pasti sibuk mencari neng, tapi neng nya saja yang tidak tahu. Nenek yakin, mereka sangat menyayangi neng, sudah, neng jangan menangis lagi yah.”

Aku pun menghapus air mataku, dan mulai menerima dengan ikhlas jika hidup ku memang begini adanya sekarang. Menjadi penjual gorengan keliling, itu bukan inginku, tapi jalan hidup ku membawa ku kemari. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk menemani nek ijah yang seorang diri. Cita-cita ku sebagai seorag pengacara pun dengan berat hati harus aku tanggalkan, karena melihat ekonomi nek ijah aku tidak mungkin sanggup meneruskan kuliah, untuk biaya makan esok hari saja belum pasti. Dan aku mulai menikmati hari-hari ku di rumah nek ijah, tanpa aku tahu lagi bagaimana kabar orang tua ku, jadi bercerai kah atau mungkin rujuk? Masih sehatkah atau mungkin sakit? Atau bahkan mungkin mereka telah mati ditelan keegoisan hati mereka? Ah entahlah. Aku sudah bisa hidup sendiri tanpa mereka. Karena bersama nek ijah, aku mengambil makna hidup yang sesungguhnya.

Lima tahun berlalu, aku hidup dengan nek ijah lewat ke ikhlasan. Dan pagi itu langit muram, kami bingung untuk pergi berjualan karena takut di tengah perjalan hujan turun mengguyur kami. Tapi Karena mengingat perut kami harus terus di isi, dengan semangat kami mengangkat keranjang gorengan-gorengan yang siap dijajakan di tengah kegelapan langit pagi itu. Tiba-tiba ketika aku membuka pintu, dua orang laki-laki berbadan tegap berbicara sangat keras dan lantang pada ku yang membuat aku bergetar hebat.

“mana si ijah? Suruh kemari dia! Waktu bayar kontrakanya sudah telat 5 bulan! Dia pikir ini rumah nenek moyang nya apa seenaknya ga bayar-bayar”

Mendengar teriakan laki-laki berkumis dan berjenggot tebal dengan kepala pelontos itu nek ijah langsung ke luar pintu dengan raut wajah takut dan pasrah.

Aku bingung apa yang terjadi dan apa yang harus aku lakukan. Laki-laki satunya lagi yang mengenakan jaket tebal dengan rambut gondrong di ikat satu itu membentak dan mendorong nek ijah hingga tersungkur ke bawah dan gorengan yang akan kami jual berserakan di atas tanah. Aku pun berontak marah melihat nek ijah yang tak berdaya mereka perlakukan se enaknya saja.

“ heh, siapa kalian? Seenaknya saja dorong-dorong nek ijah! Liat tuh gorengan yang mau kami jual jatoh semua! Kalian mau apa gantiin!”

“heh bocah ingusan ! siapa kamu? Berani kamu sama kita ? asal kamu tau yah, nenek peot itu sudah 5 bulan ga bayar kontrakan ini. Kalau sampai besok kalian ga bayar, kalian harus angkat kaki dari kontrakan ini!” serang laki-laki berambut gondrong itu.

“bilang sama majikan kalian, kita pasti bayar! Pasti! Kalo perlu suruh dia datang kemari! Aku gak takut!” balas ku tak kalah tinggi nada suaranya, saking kesal yang tak bisa aku bendung lagi pada mereka.

“oke, awas kalau besok kalian tidak mampu membayarnya. Siap-siap kemas barang-barang kalian dan angkat kaki dari sini!” bentak laki-laki pelontos itu sambil beranjak pergi meninggalkan kontrakan nek ijah.

Aku pun segera membangunkan nek ijah yang tersungkur di tanah dan mendudukannya di atas amben, lalu membereskan gorengan-gorengan yang berjatuhan. Tak lama hujan turun deras, lengkaplah sudah kami tidak bisa pergi menjual gorengan, dan gorengan pun kami buang karena kotor terjatuh ketanah, ada beberapa bakwan yang masih bersih di dalam keranjang yang aku pegang, kami simpan untuk jatah makan siang dan malam nanti. Ketika aku membantu untuk mengobati luka di kaki nek ijah karena di dorong oleh laki-laki berbadan besar itu, aku pun memutar otak bagaimana untuk membayar uang kontrakan nek ijah besok? Meminta pada orang tua ku? sungguh tidak mungkin aku lakukan. Meminjam teman ku? pada siapa aku harus meminjam? Aku merasa sudah tidak memiliki teman lagi di bumi ini selain nek ijah. Setelah aku membantu mengobati nek ijah, aku meminta ijin untuk pergi keluar sebentar, walaupun di luar sedang hujan deras dan nek ijah melarangku, aku tetap harus pergi, demi nasib nek ijah besok, nasib kami.

Aku menerobos hujan mencari sebuah rumah pemilik kontrakan nek ijah, aku ingin bernegoisasi secara langsung dengannya untuk meringankan beban biaya kontrakan nek ijah. Tentu aku tidak mengatakan hal ini pada nenek, ia pasti melarangku. Setelah bertanya kesana kemari, aku berhasil menemukan sebuah rumah mewah bertingkat dua dengan mobil mewah di depanya. Aku tidak habis fikir, sudah kaya seperti ini masih saja menyiksa rakyat miskin seperti nek ijah. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah itu. Tapi rumah mewah itu serasa sepi dan kosong. Hening. Tanpa segan aku mengetuk-ngetuk pintu rumah yang besar itu dan mengucapkan salam. Tapi tak ada sambutan dari dalam. Ketika aku coba dorong pintunya, ternyata pintu itu tidak di kunci. Aku memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu, berharap aku bisa bertemu dengan pemilik rumah itu.

Aku buka, dan aku berjalan masuk melewati pintu rumah itu. Aku mendengar bunyi musik yang nyaring dari lantai dua. Karena di lantai bawah rumah itu sepi, aku naik kelantai dua. Plas ! terhenyak! Setengah sadar dan tidak! Serasa seluruh tubuh ini bergetar dan berguncang hebat. Aku melihat sesosok wanita di depan ku terbaring tanpa sehelai pun busana. Busa keluar dari dalam mulutnya. Dan, yang paling menghentakan jantungku, aku mengenali siapa wanita itu, ya, dia mamah! mamah ku! mamah yang telah lima tahun aku tak jumpai kini terbaring di depan ku dalam keadaan yang sangat ironis.

Tak pikir panjang aku langsung memakaikannya pakaian dan membawanya kerumah sakit dengan becak yang aku panggil di bawah rintik hujan.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berteriak-teriak memanggil dokter untuk segera memeriksa mamah ku. Di tengah kekalutan itu, aku bingung. Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Semuanya kacau. Semuanya buyar. Aku terhenyah aku terkapar di teras depan kamar di mana mamah ku sedang dirawat. Sebenarnya apa yang selama ini terjadi selama aku pergi?

Gelap! Ketika alam sadar ku mulai terbuka, aku tau sosok yang di depan ku adalah nek ijah. Ia bercerita panjang lebar setelah kesadaran ku. mengenai mamah yang kemarin mati. Yah, mamah telah mati ! Ternyata setelah mengantarkan mamah ke rumah sakit, aku pun jatuh pingsan dan tak sadarkan diri selama dua hari. Nek ijah bilang, mamah mati karena over dosis! Plass! Hancur lebur hati ku seketika mendengar kata itu. Apa sebenarnya yang telah terjadi setelah lima tahun aku meninggalkan rumah. Air mata ku bercucuran mengingat kehidupan ku dulu dan sekarang. Sekarang aku benar-benar merasa sebatang kara. mamah mati di perbudak obat-obatan terlarang.

“tadi, nenek bertemu dengan pembantu yang ada di rumah mamah neng, pembantu itu bercerita banyak tentang kedua orang tua neng, nenek fikir neng harus mengetahuinya.” Ujar bu ijah yang tengah duduk di pinggir ranjangku.

Aku menganggukan kepala siap untuk mendengarkan cerita yang meluncur dari mulut nek ijah. Ternyata, setelah aku lari dari rumah, orang tua ku benar-benar bercerai. Mereka pisah rumah. Ayah ku menikah lagi dengan selingkuhanya di Malaysia. Sedangkan mamah, mamah menjadi wanita kalang kabut. Dengan harta yang mamah punya, mamah menghabiskanya untuk berfoya-foya keluar masuk diskotik, mabuk-mabukan, memakai narkoba, dan pada hari dimana aku menemukan mamah terkapar begitu saja di lantai dua rumah barunya, ternyata mamah di perkosa dan dirampas seluruh hartanya oleh dua orang algojonya, dua orang laki-laki berbadan tegap yang tempo hari datang ke kontrakan nek ijah untuk menagih uang kontrakan.

Ironis ! aku tak bisa bergerak. Tak bisa berkata-kata. Degup jantungku terus memompa dengan cepat. Ketika aku mendengar semua cerita nek ijah, senja di sore itu menjadi bingkai kesedihan di hidup ku yang ke sekian kali. Aku terus menangis di pangkuan nek ijah, hingga matahari senja itu perlahan tenggelam, tenggelam, lenyap, dan musnah!

Penulis adalah: ‪Dinda Eka Savitri. Mahasiswi semester 3 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di STKIP Setia Budhi Rangkasbitung, dan relawan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kedai Proses.

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Samudera Hikmah di Balik Tragedi Perang

Banten Hits.com - Saat makan malam dalam acara liburan...

22 Jam Cinta di 22 Januari

Mataku masih saja mencari, seperti anak ayam kehilangan induk...

Kucinta Tanahmu

Engkau, bilang manusia hidup dalam dua sisi yang bertolak...

SAKIT? 3S aja ( Sabar, berusaha, sembuh )

Sakit, bahkan lebih dari sakit. Bangun dari tempat tidur...