Meski tidak banyak disebut dalam literatur tentang Banten, namun beberapa sumber menuliskan, Kelapa Dua adalah salah satu tempat teramai dalam perdagangan internasional di Banten. Di tempat ini, pernah berlangsung proses pembuatan gula, hingga ekspor gula ke dunia lewat pedagang-pedagang Tionghoa dan Inggris.
Saat ini, Kelapa Dua sendiri telah menjadi nama jalan dan blok yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten.
Dalam rubrik Babad Banten kali ini, redaksi Banten Hits akan mengulas soal Kelapa Dua, kaitannya dengan produksi gula. Seluruh tulisan bersumber dari buku Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, karya Claude Guillot.
Nama Kelapa Dua muncul dalam Sumber Inggris, Denmark, dan Belanda. Catatan terawal dimuat dalam arsip Kompeni Inggris untuk Hindia Timur. Seluruh catatan dalam sumber ini selalu berkenaan dengan perdagangan dan pembuatan gula.
Pada bulan Desember tahun 1635, para pedagang dari loji Inggris di Banten pergi ke Kelapa Dua untuk membeli sebanyak mungkin gula yang dapat dimuat di dalam kapal-kapal mereka. Disebutkan, proses pembuatan gula di Kelapa Dua itu dilakukan oleh orang Tionghoa.
Orang Tionghoa yang tinggal di Kelapa Dua ini, menanam tebu di area yang cukup luas. Dalam sebuah kontrak disebutkan, kepala loji Inggris akan membeli dari setiap keluarga 100.000 batang tebu setiap tahun, yaitu 600.000 batang dari enam keluarga Tionghoa. Para Tionghoa ini mengatakan kepada loji Inggris, dari setiap 100 batang tebu akan menghasilkan 450 pikul (sekitar 2,8 ton) gula putih yang bermutu.
Salah seorang keluarga Tionghoa yang memproduksi gula di Kelapa Dua adalah Whitton alias Gouwsamcoe alias Samcoe. Dia Tionghoa beragama Islam. Selain membuat gula, Samcoe juga menyuling arak dan menjualnya ke orang Inggris.
Selain Samcoe, di Banten ada delapan orang Tionghoa yang terkenal sebagai pembuat gula, yaitu; Winsauco, Tunchin, Gonlawco, Chawco, Goqua, Bungo, Chinlo, dan Chyen).
Meski disebutkan, Kelapa Dua dan sekitarnya merupakan lahan tebu yang sangat luas pada tahun itu, namun tidak diceritakan bagaimana awal penduduk menanam tebu. Mengingat pada jaman itu, sebagian besar lahan pertanian di Banten ditanami lada.
Dalam sumber itu hanya menyebutkan, penduduk lebih menyukai untuk mengembangkan perkebunan tebu daripada menanam lada. Pada tahun 1631, produksi gula di Banten masih sangat sedikit.
Pada kurun 1635 dan 1678, Sultan Banten saat itu, Sultan Abulmafakir, pernah berada di Kelapa Dua. Tempat ini diketahui menjadi lebih penting di mata orang asing, dibanding dengan ibu kota lama Banten Girang yang berjarak sekitar 2-3 kilometer dari Kelapa Dua.
Masa kejayaan Kelapa Dua sebagai penghasil gula terbesar berakhir pada tahun 1682. Saat itu terjadi pertempuran antara Batavia dengan Banten yang berujung pada kekalahan Sultan Ageng. Kekalahan ini membuat warga Tionghoa begitu takut. Mereka beramai-ramai pergi meninggalkan Banten.
Dengan kemenangan Batavia atas Banten, maka berakhirlah kegiatan menghasilkan gula di Kelapa Dua. Nama kampung ini tidak tercatat lagi dalam daftar tempat penggilingan gula di Banten.(Rus)