Perubahan mendasar dalam pemerintahan kesultanan Banten yang dikenal sebagai pelabuhan terbesar di Nusantara adalah tentang kebijakan pertanian. Karena saat itu hanya tanaman lada komoditi yang paling diminati pedagang, maka kebijakan menanam komoditi pertanian selain lada dianggap tak populer.
Pada jaman pemerintahan Sultan Abulmafakir, pemerintahan Banten pernah mewajibkan warganya menanam tebu. (BACA JUGA:Kelapa Dua, Penghasil Gula buat Dunia di Abad 17)
Dalam rubrik Babad Banten kali ini, Banten Hits akan mengulas arah kebijakan pemerintahan Banten dalam sektor pertanian lainnya. Seluruh tulisan bersumber dari buku Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.
Selain tebu, perubahan kebijakan pertanian di kesultanan Banten lainnya terjadi saat pemerintahan dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Saat tahun 1659 bulan September, Kiayi Arya Mangunjaya, seorang menteri negara Sultan Ageng yang dikenal giat dan setia, mengerahkan semua kepala wilayah kerajaan dan memerintahkan kepada mereka untuk mengumpulkan pohon kelapa muda sebanyak seratus batang setiap orang di daerah kewenangannya.
Pohon-pohon kelapa muda itu harus ditanam di sepanjang Sungai Untung Jawa yang dikenal Sungai Cisadane. Artinya, tempat ini dekat dengan perbatasan Batavia.
Pemerintah Banten saat itu terlihat sangat serius mengembangkan sektor pertanian dari penanaman pohon kelapa. Selain perintah setiap orang harus menanam seratus batang kelapa, Sultan Ageng juga mengeluarkan keputusan tambahan, yaitu memindahkan 5.000 orang laki-laki yang sehat beserta keluarganya ke permukinan perkebunan baru sepanjang Sungai Cisadane.
Jika satu orang lelaki membawa serta keluarga mereka yang terdiri dari isteri dan dua orang anak, maka terdapat jumlah yang cukup besar yakni mencapai 20.000 orang yang ditempatkan di sepanjang Sungai Cisadane.
Sultan Ageng memberikan lahan satu hektar kepada satu penduduk. Ini berarti ada 5.000 hektar tanaman kelapa di sepanjang Sungai Cisadane.
Penambahan penduduk tersebut disertai juga dengan pembangunan 10 desa yang baru di wilayah itu. Berdasarkan catatan, sebelum terjadinya pertambahan penduduk, setiap desa di wilayah itu hanya dihuni oleh tak lebih dari lima ratus orang penduduk.
Proyek berskala besar dari kesultanan Banten itu mempunyai arti politik juga, mengingat Batavia merupakan wilayah yang dianggap “mengkhawatirkan” oleh Banten. Walaupun, ada perjanjian perdamaian yang baru ditandatangani kedua negara ini.
Jadi jelaslah, proyek penanaman kelapa di sepanjang Sungai Cisadane bukan hanya semata kebijakan pertanian dengan pengembangan yang lebih luas, melainkan juga ada unsur pertahanannya.
Meski demikian, Banten memiliki legitimasi kuat untuk pengembangan pertanian di perbatasan ini, setelah sebulan sebelum perintah penananaman kelapa dikeluarkan, Belanda sudah memberitahui Batavia soal rencana penanaman kelapa di sepanjang Sungai Cisadane ini. (Rus)