Rawayan menurut penulis Etnografi Suku Baduy, Ahmad Yani, adalah berasal dari buhun Sunda atau bahasa asal tertuanya. Menurutnya, Rawayan berarti jembatan gantung atau yang oleh masyarakat Baduy disebut cukangan yang terbuat dari bambu, kayu, tali dari ijuk pohon aren.
“Itu sebabnya masyarakat Baduy disebut Rawayan,” terang Ahmad Yani di sela kegiatan “Nyieun Cukangan”, Kamis (07/08/2014), di Kampung Gajeboh.
Rawayan menurut penulis Etnografi Suku Baduy, Ahmad Yani, adalah berasal dari buhun Sunda atau bahasa asal tertuanya. Menurutnya, Rawayan berarti jembatan gantung atau yang oleh masyarakat Baduy disebut cukangan yang terbuat dari bambu, kayu, tali dari ijuk pohon aren.
“Itu sebabnya masyarakat Baduy disebut Rawayan,” terang Ahmad Yani di sela kegiatan “Nyieun Cukangan”, Kamis (07/08/2014), di Kampung Gajeboh.
Menurut Ahmad Yani, di Baduy kita dapat menemui “rawayan” masing-masing terletak di kampung Balimbing, Tambayan, Gajeboh, Cicakal, Cikeusik, Batu Beulah, Cisadane, Cibeo, dan Cikadu. Panjangnya bervariasi antara 6-20 meter.
“Rawayan terpanjang 20 meter terdapat di Kampung Gajeboh ini dan yang terpendek 6 meter ada di Kampung Cibeo,” jelasnya.
Rawayan dibuat untuk menyeberangi sungai. Umumnya di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling melengkapi, di antaranya; ruyung, galur, tihang, keukembing, sunduk, dan tali injuk.(BACA JUGA : Ini Material Jembatan di Baduy)
Kamis (07/08/2014) penduduk suku adat Baduy luar, tepatnya kampung Gajeboh melakukan aktivitas “Nyieun Cukangan” yang berarti membangun jembatan. Menurut penanggalan Suku Baduy, hari itu bertepatan dengan tanggal 13 bulan ke 7 tahun 3018.
Yang unik dari proses pembuatan jembatan ini, semua kegiatan dilaksanakan dalam satu hari, walau persiapannya bisa mencapai satu bulan. (BACA JUGA: Dibangun Sehari, Jembatan di Baduy Tahan Lima Tahun)
Dari pengamatan Banten Hits.com, seluruh ibu-ibu Baduy di rumah terlihat bekerja. Ada yang memasak makanan, sebagian membuat kue-kue lokal, sebagian memasak nasi saja, ada pula yang memasak lauk pauk yang berbeda-beda. Sementara itu, di depan jembatan yang sedang dibangun hanya seorang lelaki yang nampak bekerja memilin ijuk untuk dibuat tali temali.
Tak lama kemudian tempat itu dipenuhi para lelaki, semua orang datang dan bekerja tanpa terdengar siapapun memerintah. (BACA JUGA : Gotong Royong Ala Baduy; Semua Bekerja tanpa Diperintah)
Rawayan atau cukangan di Kampung Gajeboh yang baru saja diperbaiki pada Kamis (07/08/2014) lalu, diapit oleh dua pohon besar. Masyarakat Baduy menyebut angsana terhadap pohon yang memiliki nama latin pterocarpus indicus itu.
Iwan Nit Net, salahsatu pemerhati kehidupan masyarakat Baduy yang sudah mengenal kehidupan mereka sejak era 80-an mengatakan, bagi siapapun yang memperhatikan bagaimana cukangan dibangun dan di mana lokasinya, maka akan mendapati pohon angsana muda bersebelahan dengan pohon angsana yang menjadi sandaran bagi cukangan yang berdiri.
“Jika Anda cukup jeli, maka Anda akan mendapati pohon angsana muda dekat pohon angsana tua yang mengapit cukangan,” terangnya.
Menurut Iwan, pohon angsana muda tersebut sengaja ditanam sebagai generasi penerus bagi angsana tua. Itu berarti masyarakat adat Baduy sangat memerhatikan masa depan anak cucu mereka.
“Angsana muda sengaja dipersiapkan untuk mengahadapi situasi di mana angsana tua tidak bisa lagi menyangga beban yang dipikulnya, misalnya karena rapuh,” terang Iwan.
Sementara, menurut Firman Venayaksa fotografer senior di Komunitas Fotografer Muallaf, jika saja warga negara Indonesia khususnya orang Banten mencontoh bagaimana seluruh elemen masyarakat Baduy bekerja untuk memenuhi kebutuhannya bersama, tentu persoalan-persoalan pembangunan akan sangat mudah selesai. (BACA JUGA, Fotografer Banten : Budaya Kerja Masyarakat Baduy Patut Dicontoh)
“Kita lihat bagaimana semua orang (Baduy) bekerja saja menyelesaikan sesuatu yang bisa mereka kerjakan. Jika kita melakukan peran masing-masing sesuai dengan keahlian kita, soal-soal pembangunan di Banten akan selesai,” jelasnya. (Rus)