Samudera Hikmah di Balik Tragedi Perang

Date:

Banten Hits.com – Saat makan malam dalam acara liburan keluarga di Hotel Marbella Anyer—Banten, tanpa sengaja Rika memecahkan piring. Semua mata pun tertuju padanya. Seorang laki-laki bergaya alim menghampirinya dan menatap tajam, “Gak apa-apa ‘kan?” ujar laki-laki itu sembari tersenyum manis. Rika hanya menggelengkan kepala.

Dia melepaskan sorbannya untuk membantu Rika bangun, maklum, bukan muhrim. Rika bertasbih dalam hati dan tersenyum malu. Dia mengambilkan makanan ganti dan mengajak Rika makan bersama. Seusai makan, dia baru menyebutkan namanya yaitu Faiz. Lantas dia menyodorkan kertas kepada Rika dan meminta nomor telepon seluler serta nama. Rika pun memberinya. Ketika waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, Rika undur diri dan bergegas ke kamar untuk beristirahat.

Banten Hits.com – Saat makan malam dalam acara liburan keluarga di Hotel Marbella Anyer—Banten, tanpa sengaja Rika memecahkan piring. Semua mata pun tertuju padanya. Seorang laki-laki bergaya alim menghampirinya dan menatap tajam, “Gak apa-apa ‘kan?” ujar laki-laki itu sembari tersenyum manis. Rika hanya menggelengkan kepala.

Dia melepaskan sorbannya untuk membantu Rika bangun, maklum, bukan muhrim. Rika bertasbih dalam hati dan tersenyum malu. Dia mengambilkan makanan ganti dan mengajak Rika makan bersama. Seusai makan, dia baru menyebutkan namanya yaitu Faiz. Lantas dia menyodorkan kertas kepada Rika dan meminta nomor telepon seluler serta nama. Rika pun memberinya. Ketika waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, Rika undur diri dan bergegas ke kamar untuk beristirahat.

Setelah sholat subuh, telepon selular  berdering. Ada telepon dari Faiz. “Ditunggu ya, di tepi pantai.” Begitu katanya. Namun belum sempat menjawab, telepon selularnya keburu mati. Rika pun segera pergi ke tepi pantai yang tengah ramai. Faiz berada di sana bersama teman-temannya dan langsung menghampiri Rika begitu ia melihatnya datang.

Mereka berbincang-bincang, mulai dari kegiatan sekolah hingga pribadi. Rika terkejut mengetahui Faiz sudah hafal 30 juz di usianya yang baru 16 tahun. Rika merasa malu sekali di usianya saat itu—14 tahun—,hanya hafal juz 30 saja.

Rika pun menyuruhnya mengaji surat An-naziat. Subhanallah… suaranya mengalun dengan nada yang menentramkan jiwa. Mata Rika berbinar menatap dahinya yang bersinar laksana matahari. Kata orang sih, karena rajin sholat.

“Udah hafal berapa juz?” tanya Faiz.

“Sama kok tiga puluh juz, hanya saja aku baru juz tiga puluh,” jawab Rika. Faiz tertawa terbahak-bahak, membuat lesung pipit yang dimilikinya semakin terlihat jelas.

Rika mengatakan kepada Faiz bahwa dia harus check out dari hotel siang hari nanti. Sepertinya dia tidak menginginkan perpisahan ini. Begitupun dengan Rika. Kemudian Rika menyudahi pembicaraan mereka karena harus berkemas. Dari kejauhan Faiz berteriak, “Enam tahun lagi hafalannya sepuluh juz ya!” Mendengar teriakan itu, Rika merasa tertantang dan bertekad untuk bisa sepertinya.

Begitu sampai di rumah, Rika meng-sms Faiz untuk memberitahukan padanya kalau dia sudah sampai dengan selamat. ‘Alhamdulillah. Udah sampai rumah’. Malam harinya, pesan itu baru dibalas. Faiz meminta izin untuk menelepon dan Rika pun mengizinkannya. Lewat obrolan singkat, Faiz meminta alamat rumah.

 Setelah itu, tidak pernah ada kabar dari Faiz. Hanya pesan berbunyi ‘Jaga hatimu’ yang masuk ke inbox telepon selular Rika tiap tahunnya. Rika membalas pesannya. Namun miris, dia tidak pernah membalasnya. Hati pilu dalam harapan semu, semua harapan menjadi layu. Hati bertanya-tanya ‘Entah sampai kapan menunggu?’ karena hal yang paling menyebalkan adalah menunggu dalam ketidakpastian. Hanya doa dan harapan-harapan supaya bisa bertemu kembali.

 Waktu terus berjalan, musim terus berganti dan tahun demi tahun telah terlewati. Semakin punah harapan untuk menjaga hati. Di usia Rika yang menginjak usia 16 tahun, tepatnya kelas 1 SMA dan tentunya semakin dewasa, berusaha untuk tidak berharap padanya. Namun apa daya, hati menolaknya.

Rika menulis syair tentang ungkapan perasaannyauntuk Faiz:

Apa yang salah pada diriku?

Mengapa aku begitu menaruh hati padamu?

Sampai kapan aku menahan perasaan ini?

Semua hambar

Ketika harapan hanya tinggal harapan

Mendekatlah

Katakan kau tidak mencintaiku

Katakan itu!

Agar hatiku tenang

Sabar. Mungkin itu kuncinya. Semakin melupakannya maka semakin dekat bayangannya menghampiri. Arrghhhhhhhhh kesal. Rika teringat pesan gurunya. “Mencinta itu tak harus mengharapkan dicintai. Cintailah cinta meski tersakiti. Suatu saat cinta akan memberimu kebahagiaan.” Hatinya menjadi damai kembali ketika mengingat pesan itu.

10 Juli 2014, laki-laki tampan beralmamater Univeritas Indonesia turun dari mobil Honda Jazz merah di depan rumah Rika. Ternyata orang itu adalah Faiz. Seketika itu juga teriakan menggelegar.

“Faizzz!”

Meski berlebihan, tapi itu membuat Rika bahagia. Ia mendekat dan mengucap salam.

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumussalam, Faiz ‘kan?” tanya Rika untuk sekadar memastikan. Faiz mengangguk. Subhanallah… mimpi apa semalam? Orang yang ditunggu akhirnya datang juga.

“Bagaimana? Sudah hafal sepuluh juz?” tanya Faiz.

Rika tersenyum malu karena belum sepenuhnya memenuhi tantangannya. Faiz menguji Rika dengan Surat Aj-jin. Jantung  Rika berdebar-debar karena takut salah. Namun akhirnya berhasil meski gugup menggerogoti tubuhnya.

“Bagus, sudah ada kemajuan,” ujar Faiz sembari tersenyum.

“Apakah kamu menjaga hatimu selama enam tahun?” tanya Faiz kemudian. Rika menggelengkan kepala. “What happened? Aya naon?” kejarnya.

“Lima tahun yang lalu, aku sanggup menjaga hatiku. Menjauhkan diriku dari yang namanya pacaran. Tapi…” air mata Rika tiba-tiba menetes.

“Tapi kenapa? Cerita dulu aja,” ujar Faiz sembari mengulurkan tisu.

“Ketika awal kuliah, aku menyukai seorang laki-laki dan laki-laki itu pun menyukaiku. Akhirnya kami berpacaran selama tiga bulanan,” jawab Rika.

“Hanya itu? Faiz lihat dari bola mataa  Rika tidak hanya itu,” selidiknya.

“Setelah lima bulan aku baru bisa move ondarinya. Kemudian aku menyukai laki-laki lain tanpa menjalin hubungan yang pasti. Akhirnya ditinggal menikah.” Kata Rika jujur.

“Sudahlah. Masa lalu itu tidak untuk dibahas. Jadikan itu pelajaran. So, will you marry me?” ujar Faiz seraya mengeluarkan cincin dari saku almamaternya.

Rika terdiam. Merenung. ‘Mengapa Faiz datang ketika di hatisudah tidak ada lagi tempat untuknya? Apa aku menerimanya? Atau menolaknya? Pilihan yang sangat sulit kulakukan karena aku mencintai orang lain dan aku tahu dia masih mengharapkan mantannya.’ Astaghfirullah.

“Bagaimana?” tanya Faiz lagi.

Hati Rika meronta kesakitan. Kulit serasa mengelupas. Jantung serasa lepas dari tempatnya. Semua lemas tak terkendalikan dan  hanya bisa terdiam ketika Faiz pamit pulang. Rika tahu dia kecewa sekali dengan keputusannya. Tapi apa daya, Rika sudah tidak berharap lebih padanya.

15 menit sudah berlalu sejak Faiz pergi ketika tiba-tiba telepon selular Rika berdering. Rupanya bibinya yang menelepon.

“Neng, teman Neng yang tadi ke rumah, kecelakaan!”

Innalillahi…. Kaki Rika lemas seketika, mulutnyaa terkunci dan tak bisa mengatakan apa-apa. Perasaan bersalah menyelimutinya. Rika yakin dia kecelakaan karena tidak fokus menyetir karenanya. Bibinya memberitahu lokasi kecelakaan Faiz via sms. Tanpa pikir panjang, Rika berlari untuk mengambil motor bapaknya di sekolahan. Bapaknya yang sedang rapat dibuat panik oleh ulah anehnya dan dia hanya bisa mengatakan kalau temannya kecelakaan.

Rika mengendarai motor setengah gila—sangat membahayakan. Tapi dia tidak peduli, yang terpenting bisa menolong Faiz secepatnya. Ketika sampai di tempat kejadian, ternyata Faiz sudah dibawa ke rumah sakit. Bibi kembali mengirimi pesan. ‘Neng, Bibi di perjalanan menuju Rumah Sakit Sari Asih. Teman Nengnya parah banget.”

Masya Allah… jauh sekali. Rika harus menempuh jarak yang bisa menghabiskan satu jam perjalanan. Karena tidak membawa uang sepeser pun, Rika kembali ke rumah sebelum bergegas ke Rumah Sakit Sari Asih.

Begitu tiba di rumah sakit, Rika merasa miris melihat Faiz yang terbaring lemah dengan dahi terbalut perban putih. Rika mendekatinya perlahan. Saat kelopak matanya perlahan terbuka,  Rika tak sanggup untuk tidak bicara.

“Maafkan aku. Ini semua gara-gara aku. Aku mohon maafkan aku, Iz.”  Kata Rika.

Faiz pun tersenyum. Ia mencoba kembali mengungkapkan makud baiknya. Menikahi Rika. Sebulan dari kejadian itu, mereka resmi menjadi pasangan suami istri.

Penulis adalah: Astini Uyun, mahasiswi STKIP Setia Budi Rangkasbitung Prodi Diksatrasiada.

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

22 Jam Cinta di 22 Januari

Mataku masih saja mencari, seperti anak ayam kehilangan induk...

Kucinta Tanahmu

Engkau, bilang manusia hidup dalam dua sisi yang bertolak...

SAKIT? 3S aja ( Sabar, berusaha, sembuh )

Sakit, bahkan lebih dari sakit. Bangun dari tempat tidur...

Penantian Cinta ( Part 2 )

Aku membaca setiap lembar, bait, kalimat dan kata pada...