20 Mei 1908 silam, organisasi Boedi Oetomo berdiri. Dua tahun sebelumnya, telah berdiri Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905 di Pasar Laweyan, Solo. Sarekat ini awalnya berdiri untuk menandingi dominasi pedagang Cina pada waktu itu. Kemudian berkembang menjadi organisasi pergerakan sehingga pada tahun 1906 berubah nama menjadi Sarekat Islam.
Soekarno muda yang saat itu masih remaja besar dalam lingkungan Sarekat Islam, setelah Pada tahun 1915 menyelesaikan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) dan berhasil melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya, Jawa Timur.
Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto yang tak lain pendiri Sarekat Islam . Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.
Hari-hari selanjutnya Soekarno di tempat ini diwarnai pertemuan intens dengan para pemimpin Sarekat Islam seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno bahkan kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Boedi Oetomo. Di kemudian hari, organisasi ini menjadi Jong Java.
Melalui jaringan Sarekat Islam ini pula, Soekarno memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921.
Di Bandung, Soekarno muda menjalani hari-hari revolusioner. Dia terus terlibat dalam gerakan penyadaran pentingnya kemerdekaan bersama sejumlah tokoh lainnya. Bandung saat itu menjadi titik sentral pergerakan politik Indonesia.
Jalan revolusioner Soekarno di Bandung, “mempertemukan” dengan Hatta yang saat itu tengah kuliah di Belanda bersama beberapa mahasiswa Indonesia lainnya seperti Pamuntjak dan Ali Sostroamidjojo.
Hari-hari revolusioner Soekarno dan Hatta di kemudian hari ternyata tak lepas dari pengasingan oleh Pemerintah Belanda yang berkuasa di Indonesia saat itu. Dalam beberapa pengasingan, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir menunjukkan sikap–yang oleh Kompas (Senin, 20/5/2015)–disebut askes (mati raga), yang berarti menjalani laku tapa, jauh dari kesenangan dunia.
Tempat terasing bagi manusia unggul kerap melahirkan insipirasi. Karenanya, pengasingan justru malah membuat pikiran revolusioner Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tumbuh subur.
“Enggit, Hatta yang sudah kutahu berada di pembuangan sedang tertarik dan menyibukkan diri dengan filsafat Yunani. Sutan (Sjahir) lebih tertarik pada renungan kebudayaan,” kata Soekarno kepada Inggit Garnasih saat menjalani pembuangan di Ende. Soekarno sendiri saat itu tengah mendalami Islam lewat buku-buku yang dikirim Ahmad Hasan.
Soekarno, Hatta, Sjahrir dan tokoh lainnya masa itu kita kenal sebagai anak bangsa terpelajar. Dengan kemampuan intelektualnya, mereka melakukan gerakan penyadaran. Gerakan intelektual yang mereka lakukan, menguatkan apa yang sebelumnya telah lahir melalui Boedi Oetomo yang kemudian selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, bangkit adalah bangun dari tidur atau dari duduk. Kebangkitan berarti kebangunan atau menjadi sadar. Ini berarti, kita semua harus bangun dari tidur panjang kegelapan (ketidaktahuan), lalu bergerak melalukan perubahan karena perubahan adalah keniscayaan.
Khusus untuk Soekarno, di balik seriusnya diskusi dia dengan para revolusioner di negeri ini ketika berhimpun untuk memberikan penyadaran pentingnya kemerdekaan kepada rakyat, ternyata ada peran kopi tubruk yang diduga menjadi stimulan diskusi revolusioner itu.
Dalam pengakuan Inggit diketahui, kopi tubruk buatannya kerap disajikan ketika Soekarno selesai sarapan dan ketika dia terlibat diskusi penting dengan para revolusioner lainnya. Butuh penelusuran lebih lanjut memang untuk merangkai secara khusus kopi dengan masa-masa revolusi saat itu….
Sumber tulisan:
– Kuantar Kau ke Gerbang; Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, Ramadhan KH, Bentang, 2011. Pernah diterbitkan pertama kali tahun 1988 oleh Pustaka Sinar Harapan.
– www.wikipedia.org/wiki/Soekarno.