Banten Hits – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lebak ikut angkat bicara terkait dengan polemik fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan sistem dan konsep Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dinilai haram atau tidak sesuai syariat Islam.
Terkait hal tersebut, pemerintah diminta segera melakukan evaluasi terhadap sistem BPJS Kesehatan yang digunakan saat ini, terlebih lagi dengan masih banyaknya sejumlah masalah yang tak jarang dikeluhkan oleh masyarakat peserta BPJS.
“Kalau MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa itu haram maka memang harus ada yang dievaluasi oleh Pemerintah terkait dengan sistem yang digunakan oleh BPJS saat ini,” kata Wakil Ketua DPRD Lebak, HM Yogi Rochmat, kepada Banten Hits.
Menurutnya, dengan dikeluarkannya fatwa oleh MUI tentang BPJS Kesehatan tersebut sekaligus menunjukkan memang ada yang tidak sesuai dengan konsep dan sistem BPJS Kesehatan.
Lantaran fatwa sudah dikeluarkan, maka Pemerintah pun pinta Yogi harus secepatnya mengambil keputusan agar tidak menimbulkan kegamangan di tengah masyarakat.
“Iya, Pemerintah harus segera menindaklanjuti itu dan harus cepat memutuskan agar tidak timbul kegalauan di masyarakat,” pinta politisi Partai Golkar ini.
Diketahui, MUI meminta kepada pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima.
Dikutip dari Okezone.com, pendapat MUI mengenai sistem penyelenggaran BPJS ini ada melalui hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 yang menyebut program BPJS termasuk modus transaksional, khususnya BPJS Kesehatan dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah.
Hal ini merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI (DSN-MUI) dan beberapa literatur secara umum belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Terlebih jika dilihat dari hubungan hukum atau akad. Diantaranya ketika terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah, maka dikenakan denda administratif sebesar dua persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu tiga bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja.
Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar due persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu enam bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
Atas hal tersebut, MUI menyatakan penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.(Rus)