Komunisme dan agama menjadi kontradiksi. Secara umum komunisme berlandasan pada teori materialisme dialektika dan materialisme historis yang oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan mitos, takhayul dan agama.
Agama dianggap akan membuat orang berangan-angan, serta dianggap tidak rasional karena keluar dari hal yang nyata. Karenanya muncul ungkapan seperti “Tuhan telah mati” yang dikemukan Nietzsche atau “agama adalah candu”.
Perkembangan komunisme di Indonesia ditandai pembentukan Partai Komunis Indonesia (PKI), di mana para tokoh PKI di antaranya Tan Malaka dan Semaoen pada awalnya merupakan anggota Sarekat Islam (SI).
Provinsi Banten yang terkenal agamis karena terdapat banyak kiai dan santri, tak luput dari pengaruh PKI. Bahkan, ada fakta sejarah yang mencengangkan mengenai kaitan para kiai di Banten dengan PKI.
Para kiai-kiai di Banten menjadi anggota PKI dan melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda yang berkuasa di Indonesia pada masa 1926.
Demikian diungkapkan sejarawan Hendri Isnaeni dalam ‘Workshop Kepenulisan Sejarah Lokal’ yang digelar atas kerjasama Jurusan Pendidikan Sejarah Untirta, Masyarakat Sejarawan Indonesia, serta Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemendikbud, Selasa (6/10/2015).{loadposition google1}
“Mari kita berpikir terbuka terhadap fakta sejarah yang ada, bahwa anggota PKI Banten yang memberontak terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 adalah para kiai,” ungkapnya di hadapan puluhan peserta workshop yang didominasi oleh para guru sekolah menengah atas.
Orang yang merekrut para kiai itu, kata Hendri Isnaeni, bernama Tubagus Alipan, seorang propagandis PKI Banten. Menurutnya, Alipan tidak sendirian, ada Tjeq Mamat yang menjabat sebagai ketua Subseksi PKI Anyer. Keduanya sama-sama orang orang Banten yang telah menciptakan sejarah.
“Ketika itu, hanya PKI yang berani memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda yang terjadi pada November 1926,” terangnya.
Pemberontakan PKI Banten tersebut dilakukan di Batavia (Jakarta), yang kemudian diikuti serentetan pemberontakan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan yang menggemparkan di Banten, serta di Silungkang Sumatera Barat pada 1927.
Akibat pemberontakan itu, sekira 1.300 orang Banten ditangkap Belanda. Sebagian dari mereka diadili dan dijatuhi hukuman berat, empat orang dihukum mati, 99 orang diasingkan ke Boven Digul.
“Dua di antaranya adalah KH Achmad Chatib dan KH Syam’un yang kembali ke Banten pada 1940,” jelasnya. Yang dimaksud 1940 adalah era penjajahan Jepang, KH Syam’un diangkat menjadi Daidancho, Komandan Batalion pembela tanah air (PETA).
Abah Yadi Achyadi yang ditanya BantenHits.com usai pemaparan Hendri Isnaeni mengatakan, kemungkinan salahsatu sebab tertariknya para kiai bergabung dengan PKI yang ditawarkan Tubagus Alipan karena politik Obat Cacing.
Ketika itu ada para kiai yang pro terhadap kebijakan pemerintah Belanda memberikan pil kepada para penderita cacingan. Sementara para kiai yang kontra berpendapat, obat cacing yang diberikan tidak jelas di mata mereka halal haramnya karena tidak mengetahui dari bahan apa, dan bagaimana proses pembuatan obat tersebut.
“PKI dianggap organisasi yang berani melawan kebijakan Belanda dan berpihak kepada rakyat,” ungkapnya.(Rus)