Pandeglang – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, kemiskinan di daerah sangat sulit diatasi. Pemerintah daerah (pemda) cenderung menerapkan kebijakan yang sama dengan pemerintah pusat dalam mengatasi kemiskinan.
Pemda dituntut mengatasi persoalan kemiskinan dengan cara mikro. Berbeda dengan kebijakan yang digunakan pemerintah pusat yang menggunakan kebijakan makro. Alhasil, pemda hanya fokus mengurangi angka kemiskinan bukan memberdayakan keluarga miskin di wilayahnya. Hal ini yang menyebebkan sulitnya kemiskinan menjadi sulit diatasi.
“Konsep pemberdayaan tidak difikirkan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi hanya mengurangi angka kemiskinan. Itu kan berbeda. Seharusnya orang miskin diberdayakan supaya keluar dari kemiskinan,” kata Peneliti Senior Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Thung Ju Lan, di Pandeglang, Rabu (6/9/2017).
BACA JUGA: Penduduk Miskin di Banten Bertambah 17.300 Orang
Belum lama ini, LIPI melakukan penelitian mengenai Indeks Kerentanan Sosial terhadap masyarakat di 2 wilayah perkotaan dan 2 lainnya warga perdesaan. Salah satu yang menjadi lokus penelitian, yakni Kabupaten Pandeglang.
LIPI meneliti 300 Rumah Tangga Miskin (RTM) di 4 kecamatan dengan membagi dalam 3 kategori, yakni sangat rentan, rentan, dan kurang rentan.
“Kami sampling 4 kecamatan, Panimbang, Cikeusik, Angsana, dan Sukaresmi. Lalu digabung dengan Kabupaten Gunung Kidul. Total ada 600 RTM yang disurvei. Hasilnya, 270 RTM kurang rentan mendapatkan bantuan yang sama dengan RTM sangat rentan. Padahal, RTM kategori itu seharusnya diberi bantuan berupa pemberdayaan seperti kemudahan usaha atau manajemen keuangan, bukan lagi bantuan berupa rastra,” paparnya.
BACA JUGA: Ketua MPR Sebut Kemiskinan dan Pengangguran di Banten Tinggi
LIPI juga menemukan kekeliruan dalam pemberian bantuan. Kekeliruan tersebut ditemukan dari pendataan penerima bantuan. Selama ini, bantuan diberikan per Kepala Keluarga (KK) bukan per rumah tangga. Padahal, dalam satu rumah bisa dihuni oleh beberapa KK. Semestinya, bantuan yang disalurkan bisa dialokasikan untuk rumah tangga lain yang benar membutuhkan.
Dampak dari kekeliruan itu sambung dia, RTM yang kurang rentan jadi memiliki budaya meminta, sehingga sulit keluar dari zona kemiskinan.
“(Pemerintah) pusat kan memerintahkan ke daerah untuk melakukan perbaikan kemiskinan, tetapi karena terbiasa dari atas, jadi terbiasa mengikuti cara pandang makro. Itu yang membuat masyarakat Indonesia memiliki budaya peminta,” jelasnya.
Untuk itu, kata dia, hasil penelitian ini akan disusun dalam bentuk police paper yang akan disampaikan ke kementerian agar mengubah paradigma berfikir pemerintah dalam memberi bantuan.
“Kami lakukan penelitian untuk mengubah paradigma berfikir di tingkat pemerintah pusat, bahwa variasi daerah harus dimasukkan dalam kebijakan. Maka, kami akan menyusun police paper untuk diaudiensikan dengan kementerian,” tuturnya.
BACA JUGA: Bupati Pandeglang Klaim Angka Kemiskinan Menurun
Sementara itu, Kepala Bappeda Pandeglang Kurnia Satriawan mengaku, usulan LIPI akan dirumuskan untuk menentukan kebijakan program bantuan. Terkait RTM kurang rentan yang masih mendapat bantuan, akan dipertimbangkan memperoleh jenis bantuan lain agar penerima bisa tetap bekerja dan tetap memiliki jaminan sosial.
“Kami akan usulkan bantuan lagi untuk yang RTM kurang rentan. Tetapi kami akan prioritaskan yang sangat rentan,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya menegaskan bahwa program untuk keluarga miskin sekiranya harus tetap terintegrasi dengan program pokok Pemkab Pandeglang seperti peningkatan APBD, nilai investasi dan mengawal proyek strategis nasional. Jika hal itu bisa terealisasi dengan baik, Kurnia optimis angka kemiskinan di Pandeglang berkurang.
“Kami buat program yang terintegrasi khususnya berkaitan dengan infrastruktur. Karena kalau kami berdayakan mereka dari sektor ekonomi, tetapi kalau infrastrukutur jelek juga kan enggak bisa. Infrastrtukrur diperbaiki tetapi orangnya tidak diberdayakan susah juga,” sebut Kurnia.(Nda)