Cilegon – Tiga pasal dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang sudah disahkan menuai kontroversi. Ketiga pasal dalam UU yang baru direvisi yakni, Pasal 73, 122 dan 245 menuai reaksi dari berbagai kalangan.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menilai, revisi UU tersebut sangat bertentangan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum, di mana pada Pasal 2 menyatakan bahwa UUD 1945 menjadi pedoman pertama dalam pembuatan hukum di bawahnya.
“Sementara, isi revisi UU MD3 sangat jelas sudah bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ketua PMII Kota Cilegon, Edi Junaedi, Rabu (28/2/2018).
Menurutnya, Pasal 245 UU MD3 yang mengatur tentang pemanggilan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Makhamah Kehormatan Dewan dianggap sudah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 bahwa Indonesia adalah negara hukum.
“Jelas, ini berpotensi akan mempersulit penegakan hukum,” sebut Edi.
Kemudian, Pasal 122 huru k dinilai akan membuat wakil rakyat menjadi otoriter. Pasal tersebut dianggap menjadi cara anggota dewan membungkam kebebasan berpendapat masyarakat, khususnya dalam mengkritik wakil rakyat di Senayan.
“Penggunaan langkah hukum hanya karena melontarkan kritik terhadap anggota dewan merupakan bentuk otoriter. Padalah, dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” bebernya.
“Isi (pasal) ambigu dan akan menjadi pasal karet. Sebab tidak ada kejelasan, merendahkan dewan seperti apa yang dimaksud dalam pasal itu,” kata Edi.(Nda)