Idul Fitri, Refleksi Evaluatif Bagi Insan Mukmin

Date:

Salat Idul Fitri
Salah satu makna Idul Fitri adalah akhirnya reformasi diri menuju kepribadian yang ukhuwah hasanah (contoh tauladan) bagi diri dan orang lain. (Jemaah salat Id di halaman SDN Parapat saat mendengarkan khotbah. Foto: Banten Hits/Ananda Deni)

Tangerang – Idul Fitri membawa pesan luas di antaranya solidaritas sosial, kebersamaan, kepedulian pada fakir miskin dan membebaskan orang-orang menderita.

Semangat Ramadan dan Idul Fitri seyogianya tidak berhenti dalam memperkaya amal ibadah secara individual, namun meningkatkan kesadaran kolektif terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan.

“Nilai-nilai Islam hendaknya tidak hanya diaplikasikan pada partikularitas suatu komunitas, tapi juga kepada semua orang di semua tempat,” kata H. Hasan Basri Al Kaf dalam khotbah salat Id berjamaah di halaman SDN Parapat, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang, Jumat (15/6/2018).

Kata Basri, Idul Fitri merupakan refleksi evaluatif bagi insan mukmim yang menjadi pertanda lahirnya individu-individu yang merasakan kemenangan dalam memerangi hawa nafsu selama bulan Ramadan serta individu yang mampu memahami dan mengajarkan ajaran Tuhan yang universal.

Basri menyampaikan, jika direnungi, setidaknya terdapat empat makna idealis yang diusung Idul Fitri. Pertama, berakhirnya reformasi diri menuju kepribadian yang ukhuwan hasanah bagi diri dan orang lain. Kedua, simbolisme materi diganti dengan pemaknaan spiritual.

Menurutnya, paradigma hidup yang menyatakan bahwa Allah sebagai tujuan hidup menjadi seorang mukmin resisten terhadap segala godaan duniawi yang materialistik.

Ironinya disampaikan Basri, konsumerisme justru semakin parah dan mode pakaian menjadi sesuatu yang memusingkan jelang Lebaran. Seolah, menggunakan pakaian termahal merupakan kebanggaan tersendiri saat hari raya.

“Nabi menganjurkan umatnya memakai pakaian terbaik, bukan yang terbaru,” ucap Basri mengingatkan.

“Kepongahan simbolik membuat kita terkungkung dalam terali formalitas yang tidak membebaskan. Bagi seorang muslim, pakaian yang harus ia kenakan adalah pakaian takwa sebagai akibat dari puasa dan pengekangan hawa nafsunya,” sambung Basri.

Ketiga, kebersamaan merupakan fenomena yang dipupuk dalam hari raya Idul Fitri tersebut dan keempat, berakhirnya Ramadan menjadi starting point dalam menciptakan optimis mengarungi hidup.

“Refleksi harapan baru menyambut hari fitri berujud lahirnya optimisme bahwa Tuhan tidak pernah bosan menerima amaliah hamba-hamba-Nya. Sikap optimis ini merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.

Lebih lanjut ujar Basri, Idul Fitri sebagai momen kembalinya seseorang ke makna fitrah hendaknya diikuti dengan tindakan reformasi diri.

“Keagungan Tuham selalu diingat dan dimaknai dalam kehidupan nyata. Bukan simbolisme dan formalisme ibadah yang justru menggali jurang lebar antara si miskin dan si kaya,” pesan Basri.

Idul Fitri merupakan hari kebersamaan di mana manusia diharapkan mampu merenung bahwa dengan kebersamaan beralaskan ajaran Tuhan.

“Sesungguhnya, manusia tidak layak dan tidak berhak menciptakan primordialiseme sempit dalam kehidupan sosial. Semoga tidak hanya baju baru yang menghias tubuh kita, tapi semangat dan pribadi baru yang suci dapat kita bangun bersama sebagai wajah fitrah yang sesungguhnya,” tutup Basri.(Nda)

Author

Cek Berita dan Artikel yang lain di:

Google News

Terpopuler

Share post:

spot_img

Berita Lainnya
Related