Tangerang – Ritual sedekah laut yang disebut masyarakat sekitar dengan istilah Nadran kembali digelar di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Sabtu-Minggu, 21-22 Oktober 2018. Ritual yang rutin dilaksanakan setiap awal bulan Sura kalender Jawa tersebut, dihadiri ratusan nelayan Surya Bahari.
Dalam ritual tahunan tersebut, nelayan melepas ‘perahu pengantin’ yang berisi sesajen ke tengah laut. ‘Perahu pengantin’ biasanya berisikan kepala kerbau, ikan bakar, kelapa kuning, pisang, ayam bakar, ayam hidup warna putih, jagung, sayuran, kemenyan dan hasil bumi lainnya.
Meski warga Surya Bahari menganggap ritual ini sebagai tradisi tolak bala dan rasa syukur atas rejeki, warga Kecamatan Teluk Naga yang berada berdampingan dengan lokasi ritual sedekah laut justru khawatir ritual tersebut dapat memunculkan bencana. Pasalnya, bencana di Kota Palu dan Donggala disebut-Sebut lantaran ada ritual serupa.
“Masih terngiang isak tangis dan jeritan kelaparan saudara kita di Sulawesi Tengah. Sekarang hal itu akan dilangsungkan pesta laut atau Nadran istilah bahasa orang Rawasaban campuran Jawa yang jelas-jelas hal tersebut sama dengan menyekutukan yang maha kuasa Alloh SWT,” kata Direktur Gerakan Bela Tangerang (Gerbang), Suhada Zabo kepada BantenHits.com, Sabtu, 20 Oktober 2018.
BACA JUGA: Tiang Diduga Peninggalan Belanda di Pinang Dijadikan Tempat Pemujaan
Zabo menilai, kegiatan tersebut dapat mengundang bencana lantaran ritual klenik tergolong sikap menyekutukan Allah. Hal tersebut pun dinilai bertentangan dengan ajaran Islam, karena bersyukur atas rejeki tak boleh dilakukan kepada selain Allah.
“Jujur kami masyarakat yang bertetanggaan dengan desa tersebut yang akan melaksanakan acara ritual kleniknya, sungguh sangat khawatir akan diturunkan azabnya Alloh SWT serupa tsunami seperti yang terjadi baru baru ini di Sulawesi, Palu Donggala,” ujarnya.
Ia pun telah menyampaikan protesnya kepada para pemangku jabatan di wilayah tersebut, namun lantaran ritual tersebut merupakan tradisi yang melibatkan berbagai unsur, kegiatan tersebut tetap dilangsungkan.
“Kalau protes keras belum kita lakukan, tapi melalui dialog dan bincang bincang antar bale ke bale sudah dilakukan, tetapi karena perkara ini sudah menjadi kebiasaan tahunan di mana melibatkan tokoh masyarakat aparat setempat beserta muspika setempat kita tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.
Ia pun berharap, dengan tetap berlangsungnya kegiatan tersebut, tidak mengundang bencana seperti yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala.
“Kami tidak bisa berbuat banyak hanya berdoa pada yang maha kuasa Alloh SWT semoga tidak terjadi apa apa di wilayah tercinta kami ini,” tandasnya.(Rus)