Banten Darurat Korupsi (Lagi)

Date:

UDAY SUHADA
Uday Suhada, Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik. (Ist)

Hari ini, 9 Desember 2018 adalah Hari Anti Korupsi Internasional. Momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi dan introspeksi atas pengelolaan keuangan negara (APBN/ APBD).

Melawan Lupa

Desember lima tahun yang lalu, negeri ini digegerkan oleh peristiwa penahanan Gubernur Banten Atut Chosiyah bersama adiknya, Chaeri Wardhana alias Wawan dalam kasus Suap Pilkada Kabupaten Lebak terhadap Akil Mochtar.

Dalam perkembangannya KPK kemudian membongkar korupsi pengadaan Alat Kesehatan yang melibatkan keduanya. Persoalan Atut dan Wawan belum selesai sampai di situ. Masih ada kasus lain yakni Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang hingga kini belum KPK limpahkan ke Pengadilan Tipikor.

Kasus pemerasan yang dilakukan Atut terhadap sejumlah Kepala Dinas di lingkungan Pemprov Banten dengan alasan untuk Operasional Anggota DPD-RI (atas nama Andika Hazrumy) yang sempat diungkap KPK.

Belum lagi persoalan dugaan korupsi Dana Hibah yang kini nasibnya terkatung-katung di Kejaksaan Tinggi Banten. Korbannya hanyalah Zaenal Mutaqin cs, yang divonis bersalah atas penggelontoran uang negara sebesar 340 milyar rupiah tersebut. Penikmat lainnya, tak disentuh.

Kita tidak boleh lupa juga mengingatkan KPK untuk menuntaskan kasus gratifikasi dari Wawan kepada sejumlah Anggota DPRD Provinsi Banten yang saat itu dijuluki Tim Samurai.

Sekadar Harapan

Penggantian kepemimpinan tahun 2017 pada awalnya memberikan harapan baru bagi rakyat Banten. Sebab Gubernur Wahidin Halim selama menjadi Walikota Tangerang dikenal lurus, cerdas, tegas dan bersih dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Alih-alih memperbaiki keadaan, setelah menjadi Gubernur, Wahidin Halim ternyata tidak mengambil langkah konkrit untuk melawan korupsi. WH malah tidak menyanggah adanya indikasi Wawan masih mengendalikan proyek di Banten dari balik penjara Sukamiskin. Dia bahkan mengatakan tahu ada proyek yang dimaksud.

“Benar masih ada yang datang ke PU (Dinas Pekerjaan Umum), ya melalui pihak ketiga,” katanya.

Gubernur hanya mengaku sudah mengingatkan Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy tentang praktik itu. Andika adalah anak dari Ratu Atut atau keponakan dari Wawan.

“Yang berjalan itu sudah sistematis, melalui orang ketiga,” ungkap WH (Kamis, 26 Juli 2018).

Ujungnya KPK kini menobatkan Banten sebagai salah satu daerah yang paling buruk soal integritas antikorupsinya. Dalam rilis KPK disebutkan bahwa Banten menempati posisi tiga terrendah atas sistem pencegahan korupsi dengan 57,64 poin. Ada bantahan? Jawabnya tidak.

Tidak usai di situ, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis data bahwa terdapat 15.458 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sebesar Rp 6,80 triliun terjadi di Banten sejak 2011 hingga 2018.

Publik Banten sebenarnya bertanya-tanya, mengapa berbagai persoalan strategis dibiarkan oleh Gubernur Wahidin Halim. Persoalan strategis dimaksud, di antaranya masih banyaknya posisi jabatan mulai dari Eselon II hingga Kepala Sekolah (SMA-SMK) kini dibiarkan kosong.

Asda I kosong, Kepala DPKAD kosong. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat-BPM juga kosong. Sekitar 24 Kepala SMAN/SMKN juga belum dilantik.

Mafia Proyek Makin Menggurita

“Waktu Wawan mengendalikan seluruh proyek pembangunan di Banten jaman gubernur Atut, pengusaha memang harus setoran sampai 30%. Tapi dia sudah dijamin mendapatkan pekerjaan itu. Termasuk tidak perlu lagi memikirkan resiko pengeluaran di lapangan. Tapi sekarang para pengusaha seperti sedang berjudi. Mengeluarkan uang untuk berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh Pokja ULP, tapi belum tentu ia dapatkan pekerjaan itu. Jika dapat pun, banyak pos yang harus diberikan setoran”.

Kira-kira demikian ungkapan beberapa pengusaha yang pernah ditemui.

Tak satupun pengusaha di Banten yang membantah atas situasi ini. Hasil investigasi ALIPP dalam 2 tahun terakhir menunjukkan bahwa proyek-proyek kontraktuil yang tersebar di OPD/Dinas, pada umumnya sudah dikavling-kavling. Misalnya di Dinas A terdapat Proyek Pengadaan Belatung Nangka senilai 6 milyar rupiah “bin” Uday Suhada, dan seterusnya. Pengkondisian proyek yang nilainya milyaran ini diduga dilakukan oleh kelompok tertentu di seputar kekuasaan. Tak terkecuali campur tangan dari orang-orang kepercayaan Wawan.

Jika pada jaman Atut dan Wawan, pengusaha harus mengeluarkan biaya (setoran) di kisaran 25% s/d 30%, namun si pengusaha ada kepastian mendapatkan pekerjaan/proyek. Kini mereka juga tetap harus mengeluarkan biaya di kisaran 1,5% dari nilai proyek yang ditenderkan, tetapi tidak ada jaminan ia akan mendapatkan tender. Jika mendapatkan tender, ia tetap harus mengeluarkan uang sekitar 45%.

Imbasnya kualitas pembangunan tetap buruk. Pengusaha Banten kini benar-benar berspekulasi untuk mendapatkan tender. Asosiasi nampak mati suri. Sebab proyek yang nilainya milyaran rupiah sudah menjadi rahasia umum memiliki “Bin”.

Semisal, “Proyek pengadaan Undur-undur senilai 10 milyar Bin Uday” atau “Proyek pengecoran Jalan Tikus di Kuluwut senilai 5 milyar bin Suhada” dan seterusnya. Seorang pengusaha bisa mendapat tender jika memiliki hubungan khusus dengan pihak yang memiliki power tertentu (para oknum).

Jika diurai, berikut rentetan persoalannya:

1. Proses Persiapan Tender.

Pengusaha yang tidak dapat menyiapkan dokumen lelang, maka di Pokja ULP ada pihak yang bisa menyiapkan dokumen tersebut, dengan imbalan kisaran Rp5 juta.

2. Masih dalam tahap persiapan, pengusaha juga wajib memiliki rekening koran di bank. Nilainya minimal 10% dari nilai proyek yang ditenderkan.

Faktanya, hanya segelintir pengusaha saja yang memiliki modal sebesar itu. Maka ada cara yang diduga merupakan bentuk KREDIT FIKTIF. Ini tentu saja salah satu bentuk kejahatan perbank-an tersendiri.

Contohnya, sebuah proyek senilai Rp 6 miliar. Maka seorang pengusaha harus membayar biaya administrasi, provinsi 1-2% dan bunga 1,4%, yang diakumulasi sekitar Rp 39.400.000,-. Setelah terbit, maka sesungguhnya uang 10% dari nilai proyek yang tertera dalam rekening koran bank tersebut adalah fiktif. Selain tidak bisa diambil (karena rekeningnya kosong), masa berlakunya hanya untuk formalitas proses tender (sebulan).

Jadi bisa bayangkan, satu proyek saja diperebutkan oleh puluhan perusahaan yang semuanya melakukan hal yang sama, berapa rupiah pengusaha harus keluarkan uang pribadinya untuk pihak bank (Bank Banten dan Bank Jabar)?

Bayangkan juga dalam setahun dari APBD Banten untuk pembangunan infrastruktur – merujuk pada contoh proyek di atas (Rp 6 miliar), jika di angka Rp 6 triliun, maka uang jasa kredit fiktif untuk pihak bank akan mencapai angka Rp39 miliar (0,65%). Jika ada 5 perusahaan saja yang mengikuti tender di masing-masing proyek, maka dalam setahun sekitar Rp 195 miliar uang pribadi pengusaha terkuras untuk kedua bank tersebut.

3. Perusahaan dengan contoh tadi pun harus memiliki sertifikat Tenaga Ahli (TA), S2, S1, SKT.

Tentu seperti biasa sudah siap biro jasa penyedia Sertifikat TA. Satu sertifikat S2 dibandrol 5 juta; Tiga sertifikat S1 bernilai @Rp 3 juta; Empat sertifikat SKT @Rp 1,5 juta. Dijumlah-jambleh menjadi Rp 20 juta. Pemilik Sertifikat itu hanya bertugas untuk datang pada saat Pembuktian Dokumen di Pokja ULP, selebihnya tak ada. Itu belum termasuk biaya untuk mendapatkan Surat Dukungan Bank dan Surat Jaminan Penawaran, sekitar Rp 3 juta (untuk proyek yang nilainya diatas Rp 5 miliar).

4. Jika syarat dokumen sudah terpenuhi, maka penawaran pun disampaikan ke Pokja ULP. Di sini babak kedua dilalui. Jika ia mendapatkan “bintang” (pemenang tender), maka koceknya harus dirogoh sebesar 3% dari nilai kontrak (cash).

5. Setelah berkas di Pokja ULP rampung, pengusaha bergeser ke Pejabat Pembuat Komitmen-PPK di Organisasi Perangkat Daerah – OPD / Dinas. Diakui oleh sejumlah informan (pengusaha) bahwa disana mereka merogoh koceknya lagi sebesar 5% dari nilai kontrak (cash).

6. Jika menjadi pemenang tender itu murni tanpa persekongkolan dengan Broker/calo atau Orang Ketiga (meminjam bahasa gubernur Wahidin Halim), maka pengusaha relatif akan leluasa melaksanakan tugasnya.

Namun jika tidak, maka ia harus menyobek kantongnya lagi di kisaran 7% hingga 10% untuk Broker/Pihak Ketiga atau si “Bin” itu. Dalam prakteknya, pengkondisian proyek di dinas/OPD/PPK dikendalikan oleh beberapa pihak yang dominan.

Di samping oleh kaki tangan Wawan-yang tidak dibantah oleh gubernur Wahidin Halim dalam statementnya “Benar masih ada yang datang ke PU. Yang berjalan itu sudah sistematis, melalui orang ketiga”, ternyata juga terungkap dari para pengusaha bahwa ada pula keluarga dan orang-orang yang dekat dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang turut bermain dan mengkondisikan proyek-proyek APBD Banten.

7. Dalam melaksanakan pekerjaan, pengusaha tentu akan mengeluarkan biaya tenaga kerja, sekitar 10%. Kemudian biaya Peralatan 10% (jika harus sewa lagi, maka akan membengkan menjadi 15%). Sebab pada umumnya perusahaan di Banten tidak memiliki peralatan sendiri.

8. Sebagai pengusaha, tentu ia harus mendapatkan keuntungan, di kisaran 10%.

9. Itu belum termasuk biaya tidak terduga di lapangan. Resiko yang harus dihadapi pengusaha adalah banyaknya “oray kadut” di lapangan yang meminta “japrem”. Berbagai oknum berseliweran sepanjang pelaksanaan proyek.

10. Nah, jika dihitung prosentase dan segala tetek-bengeknya yang diurai di atas, maka uang rakyat yang akan riil nempel di lapangan hanya tersisa maksimal 45%. Itupun jika pekerjaannya tidak disubkon lagi kepada pihak lain.

Indikasi Korupsi Tambahan

Kini, Banten dihadapkan pada persoalan dugaan korupsi berikutnya, di antaranya di lingkungan Dinas Pendidikan. Padahal sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas utama gubernur WH. Dugaan korupsi dimaksud antara lain:

1. Proyek Pengadaan Lahan di 9 lokasi untuk SMAN & SMKN tahun APBD 2017, senilai Rp 40 miliar,
2. Proyek Pengadaan Komputer Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) Tahun APBD 2017 sebesar Rp 40 miliar dan Tahun APBD 2018 sebesar Rp 25 miliar.

Selain terdapat indikasi adanya mark-up harga di semua lokasi, pengadaan lahan untuk SMKN 7 Tangerang Selatan yang paling sarat akan adanya penyimpangan. Mulai dari fisibility study yang amburadul: jarak antara sekolah filial dengan lokasi sangat jauh (9,9KM); tidak ada akses jalan menuju lahan sekolah tersebut (siswa harus menggunakan helikopter untuk sekolah); juga diduga terjadi praktek korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat dan pihak swasta di lingkaran kekuasaan.

Pembebasan lahan USB SMAN Bojongmanik di wilayah Kabupaten Lebak juga ditengarai merupakan tanah negara yang dibeli lagi oleh negara. Sedangkan proyek Pengadaan Komputer UNBK tahun 2017 diduga kuat dimark-up.

Demikian juga Pengadaan Komputer UNBK Tahun 2018 juga diduga kuat telah terjadi praktek korupsi. Bahkan pencairan yang semestinya dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (Sekretaris Dinas), justru langsung diambil alih oleh Pengguna Anggaran (Kepala Dinas).

Hal ini bertentangan dengan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dimana Pengguna Anggaran dapat mengambil alih pembayaran apabila Kuasa Pengguna Anggaran berhalangan tetap.

Untuk itu, ALIPP dalam waktu dekat akan melakukan Pengaduan kepada KPK dalam persoalan-persoalan di atas.

Serang, 9 Desember 2019. Penulis: Uday Suhada, Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik.

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Menikmati Jalur Mudik Lebak

BantenHits - Selama bulan Ramadan saya melakukan kunjungan dua...

Mencari Independensi Media Dalam Pemberitaan Politik

Bantenhits - Peran media dalam panggung politik kontemporer semakin...

Gunung Batu Desa Anti Korupsi

Bantenhits - Beberapa waktu yang lalu, Selasa, 31 Januari...

Geger Sambo dari Perspektif Mahasiswa Komunikasi; Catatan Kritis untuk Perubahan Polri

Mata publik seolah tak pernah berhenti menguntit setiap detail...