Tangerang – Sejumlah elemen masyarakat telah menyatakan kelelahan tak bisa disebut penyebab kematian massal Kelompok Panitia Pemungutan Suara atau KPPS yang angkanya mencapai 500 orang lebih.
Desakan untuk dilakukan investigasi hingga pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) pun kini ramai disuarakan.
Ikatan Dokter Indonesia atau IDI pun kini turut berpendapa terkait fenomena kematian massal yang menimpa petugas KPPS ini.
Ketua Umum IDI Daeng Muhammad Faqih menegaskan, kematian langsung akibat kelelahan tidak ada dalam dunia ilmu medis atau kedokteran.
“Memang di dunia medis itu tidak pernah ada faktor penyebab kelelahan yang langsung menyebabkan kematian,” kata Daeng dalam diskusi dengan tvOne dalam program Kabar Petang, Jumat, 10 Mei 2019 seperti dilansir viva.co.id.
Meski begitu, dia mengakui bahwa kelelahan sebagai pemicu, pendamping dan memperparah penyakit yang akhirnya menimbulkan kematian, itu bisa saja terjadi.
“Tapi, menyebabkan langsung mati karena kelelahan itu kami lihat, tidak pernah ada diagnosis seperti itu,” kata dia.
Ia menjelaskan, kelelahan bisa memicu penyakit lain seperti serangan jantung, stroke sehingga menyebabkan kematian. Lantas, apakah 573 petugas KPPS pada pemilu 2019 ini seluruhnya mengidap penyakit, Daeng belum bisa memastikan hal tersebut.
“Kalau di dunia kedokteran itu kematian itu ada yang kematian yang memang riwayat penyakitnya jelas. Dari awal sudah sakit ini, kronis, sakit kemudian meninggal. Kemudian ada riwayat penyakitnya mungkin dulu pernah sakit dan sembuh, kemudian dipicu kelelahan, kambuh lagi. Kalau bahasa medisnya exa serbasi akut,” katanya.
Namun begitu, dia juga mengakui ada istilah dalam ilmu kedokteran yaitu, Sudden Dead alias kematian mendadak tanpa ada penyakit apa pun, namun itu jarang terjadi.
Autopsi Jenazah KPPS
Dengan banyaknya jumlah petugas KPPS yang menjadi korban dalam pemilu 2019 ini, menurutnya autopsi langsung jenazah memang perlu dilakukan agar menjadi evaluasi dalam penyelenggaraan pemilu berikutnya. Cara menilai penyebab kematian itu, lanjut dia, memiliki level masing-masing dan yang tertinggi tingkat validitasnya adalah autopsi jenazah.
“(Kalau) paling bawah tingkat validitasnya itu ada yang disebut audit verbal, autopsi verbal. Tapi itu validitas tidak terlalu tinggi, karena yang ditanya itu orang lain,bukan yang bersangkutan,” katanya.
Kemudian, istilah audit medis yang merupakan satu level di atas audit verbal. Dalam audit medis, korban diperiksa rekam medisnya dari dokter yang pernah merawat.
“Tetapi dalam ilmu kedokteran yang paling tinggi validitasnya itu memang autopsi jenazah. Untuk mengetahui cause of dead, diagnosis pastinya itu memang dengan autopsi jenazah, secara keilmuan memang begitu,” katanya.
Sebelumnya, Unit Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, siap bekerja sama dengan seluruh Fakultas Kedokteran di Jawa Timur, Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran di seluruh Jawa Timur, RSUD Dr. Soetomo, Rumah Sakit Universitas Airlangga dan seluruh stake holder terkait untuk melakukan penelitian medis terhadap kejadian ini khususnya di Jawa Timur.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana