Tangerang – Indonesia tengah menghadapi persoalan dalam pengembangan SDM, di antaranya masih adanya praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam berbagai aspek. Bentuk diskriminasinya antara lain kekerasan fisik maupun psikis, stigma negatif, domestikasi, dan marjinalisasi.
Ironisnya, isu ini tidak hanya terjadi pada masyarakat pedalaman, namun juga di daerah perkotaan yang lebih berkembang. Perempuan masa kini, terutama yang termasuk wanita modern, harus mengambil peran untuk membalikkan kondisi ini.
Problematika tersebut terungkap dalam seminar bertema “Perempuan dan Kapabilitasnya” yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pelita Harapan (BEM-UPH) bekerja sama dengan Yayasan Mandiri Kreatif Indonesia (YAMAKINDO) di Gedung D 501 UPH Kampus Lippo Karawaci, Sabtu, 7 September 2019.
Dalam keterangan tertulis yang diterima BantenHits.com, Senin, 9 September 2019, seminar dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana S. Yembise; Wakil Ketua Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Budi Wahyuni; Direktur Rekatara Human Capital Development yang juga Anggota Komisi IX DPR RI 2009-2018, Okky Asokawati.
Acara tersebut juga dihadiri 120 peserta yang terdiri dari mahasiswa UPH dan mahasiswa dari kampus-kampus sekitar Jabodetabek.
Yohana menginginkan, perempuan yang memiliki kesempatan belajar di perguruan tinggi dapat menjadikan pendidikan sebagai batu loncatan guna mematahkan mata rantai domestikasi wanita di Indonesia.
“Mahasiswa di Indonesia ada 6,7 juta, dan 60%-nya adalah perempuan. Tapi, dari angka ini, 70% dari mahasiswa perempuan yang balik lagi ke pekerjaan-pekerjaan domestik setelah lulus,” katanya.
“Pemerintah maupun instansi-instansi swasta menggelontorkan banyak dana untuk beasiswa belajar, eh masa dipakai untuk balik ke dapur lagi?” sambungnya.
Yohana mengungkapkan pengalaman pribadinya yang berjuang untuk membuktikan kemampuannya. Dia mengejar gelar hingga S3 di universitas-universitas baik di dalam maupun luar negeri.
“I have quality. I have the capability. Saya percaya saya bisa, dan saya tabrak terus. Ini semangat yang harus kalian miliki sebagai perempuan yang diberi kesempatan belajar di perguruan tinggi,” ujarnya.
Sementara Budi Wahyuni menambahkan, angka perempuan yang tinggi di perguruan tinggi tidak menjamin berhentinya tren domestikasi di Indonesia.
“Proses lulus S1, bahkan S2, tidak akan menambah keberdayaan wanita. Pada dasarnya, perempuan memang tidak memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan. Pada dasarnya, yang harus diubah adalah sistem pendidikan. Pertama di rumah, kemudian di sekolah. Dunia pendidikan harus berubah. Kalau di dunia pendidikan masih ada kekerasan terhadap perempuan, kita tidak akan maju,” katanya.
Sementara, Okky Asokawati, mendorong kaum wanita untuk berani masuk ke ranah politik. Saat ini menurutnya, Indonesia belum memiliki banyak anggota perempuan di parlemen, meski memang ada kenaikan jumlah dari 101 anggota DPR RI sekarang menjadi 115 anggota DPR RI pada periode 2019.
“Perempuan jangan alergi berpolitik. Menurut saya, natur perempuan itu lebih caring, jadi anggota DPR wanita biasanya akan lebih fokus pada pengaturan KB, BPJS, dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Bila kita punya banyak anggota DPR wanita, isu-isu ini akan mendapat jauh lebih banyak perhatian. Sebagai perempuan, jangan segan mengedukasi diri kita dan masuk ke dunia politik,” ungkapnya.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana