Tangerang – Tuduhan radikalisme akhir-akhir ini cenderung tendensius karena mengarah kepada umat Islam. Tuduhan radikalisme tanpa disertai bukti menjadi bentuk kekerasan verbal.
Hal tersebut diungkapkan Mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah Din Syamsudin usai mengikuti pengajian bulanan Universitas Muhamadiyah Tangerang,Sabtu 12 Oktober 2019 sore.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia itu mendesak pejabat pemerintah ataupun aparat penegak hukum untuk meminta maaf kepada umat Islam atas tuduhan radikalisme tanpa bukti tersebut.
“Ini saya mengamati ada gejala kecenderungan ingin menggunakan isu radikalisme, ekstrimisme dengan tendensi tertentu dan yang dirasakan adalah diarahkan kepada kalangan Islam. Inikan sebenernya lagu lama yang dulu di awal orde baru dipake ekstrem kiri dan kanan, tapi dengan bahasa lain terpapar radikalisme ekstrimisme. Ini adalah istilah-istilah majoratif tidak konstruktif sangat tendensius,” ungkap Din.
Di negara yang berdasar hukum, lanjutnya, jika ada bukti pelanggaran hukum maka tegakkan dengan hukum, tangkap, dan bawa ke pengadilan.
“(Tuduhan radikalisme) itu kan kekerasan verbal. (Seharusnya) selesaikan di pengadilan, jangan bermain pada tuduhan dengan istilah radikalisme ternyata tidak ada (bukti),” ungkapnya.
Penusuk Wiranto Tak Pernah Salat di Masjid
Terkait peristiwa penusukan terhadap Wiranto yang dilakukan pasangan suami istri, Dien menilai, tuduhan radikal tidak bisa dibuktikan oleh penegak hukum, karena tersangka tidak pernah salat di masjid ataubpun ikut pengajian tertentu,” tegasnya.
“Menurut keterangan penegak hukum, tersangka itu sudah dipantau sejak tiga bulan lalu tapi kenapa hal itu bisa kecolongan. Ada yang bilang tersangka terkait dengan ISIS, ternyata tidak. Hingga akhirnya dibiang stress berat,” jelasnya.
“Dalam hal ini pejabat pemerintah, aparat penegak hukum dan keamanan yang sudah menuduh duluan adakah yang meminta maaf? Jadi jangan hanya menuduh tanpa bukti,” imbuhnya
Editor: Darussalam Jagad Syhadana