Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia atau SBMI mendesak Pemerintah Indonesia memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh migran asal Indonesia di luar negeri.
Pernyataan tersebut disampaikan saat menggelar aksi memperingati Hari Buruh Migran di depan Kantor Kementerian Tenaga Kerja, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.
SBMI juga mengingatkan kembali komitmen Presiden Indonesia Jokowi pada periode pertama pemerintahannya yang mengatakan negara hadir untuk melindungi buruh migran sebagai Warga Negara Indonesia.
“Faktanya, sepanjang periode tersebut, negara telah mengingkari janjinya sepanjang periode tersebut kasus kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran terus terjadi, yang diakibatkan oleh lemahnya sistem perlindungan buruh migran,” kata Ketua SBMI Hariyanto dalam keterangan tertulis yang diterima BantenHits.com.
Menurut Hariyanto, meskipun pemerintah telah merevisi UU No. 39/2004 menjadi UU No 18/2017 untuk perlindungan buruh migran, namun pemerintah tetap abai dalam menyusun aturan turunan untuk memastikan pelaksanaan undang-undang tersebut.
“Hal ini berimplikasi pada tata kelola migrasi yang masih menempatkan buruh migran sebagai objek dan komoditas, sehingga rentan dieksploitasi dan diperas,” jelasnya.
Bagi perempuan buruh migran yang mayoritas bekerja di sektor paling rentan seperti pekerja rumah tangga, lanjutnya, kekerasan dan pelanggaran hak menjadi semakin berlapis akibat struktur kuasa yang mendiskriminasi dan meminggirkan perempuan. Apalagi, proses penempatan sektor domestik di dalam UU No. 18/2017 masih diserahkan pada pihak swasta.
Hariyanto mengungkapkan, transisi pelindungan buruh migran dari UU No. 39/2004 ke UU No. 18/2017 disandera oleh ego kelembagaan dan kepentingan-kepentingan kementerian. Akibatnya mandat pasal 90 UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, melebihi batas waktu yang telah ditentukannya selama dua tahun, yaitu pada tanggal 22 November 2019. Hal ini mengakibatkan pelindungan buruh migran kacau balau.
Selain itu, perlindungan hukum dalam bentuk perjanjian antar pemerintah secara kuantitas tidak bertambah. Setali tiga uang, aturan yang kadaluarsa tidak diperbaharui, dan secara kualitas masih sama dengan undang undang sebelumnya.
“Melihat komitmen pemerintah terhadap Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) secara kuantitas baru mencapai 34 kabupaten dari 60 kabupaten kota dengan kantong buruh migran. Namun, LTSA belum berfungsi ideal sebagaimana semangat UU No. 18/2017 karena alih-alih buruh migran mendaftarkan dirinya ke LTSA, sebaliknya mereka menggunakan jalur agensi karena layanan LTSA yang belum efisien, efektif, dan aksesibel,” tegasnya.
Perlindungan BPJS Tak Maksimal
Berdasarkan penghitungan nilai kasar jumlah iuran BPJS Pekerja Migran Indponesia (PMI), BPJS hanya bisa mengembalikan 0,5% klaim yang diminta oleh buruh migran. Hal tersebut menandakan bahwa BPJS PMI tidak berfungsi optimal, effektif, dan sesuai manfaat yang diberikan oleh BPJS. Salah satu sebabnya adalah syarat dan ketentuannya yang sulit diklaim oleh buruh migran.
“Buruh migran yang bekerja sebagai pelaut awak kapal juga menunggu realisasi mandat UU No.18/2017. Kerentanan awak kapal dimulai sejak sebelum bekerja, pada saat bekerja hingga pulang ke negara asal. Sebelumnya, Kemnaker telah abai terhadap mandat UU No. 39/2004 yang mengakibatkan adanya kekosongan hukum selama 9 tahun (2004-2013), kekosongan hukum ini kemudian memunculkan perbedaan penerapan hukum antara BNP2TKI dan Dirjen Perhubungan Laut,” ungkapnya.
Heriyanto menilai, pengawasan buruh migran masih menjadi pekerjaan rumah yang berat. Dalam hal ini, Kemnaker berdalih kurang sumber daya manusia yang hanya tersedia 1923 untuk mengawasi 21.591.508 perusahaan nasional dengan perbandingan 1:11,228 (data ILO 2016).
“Lalu bagaimana pemerintah bisa mengawasi buruh migran yang jumlahnya mencapai 9 juta di luar negeri?” ujarnya.
Tak hanya itu, negara bahkan secara aktif melakukan diskriminasi terhadap perempuan buruh migran melalui kebijakan Kepmenaker 260/2015 yang memberlakukan pelarangan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga ke 19 negara-negara Timur Tengah.
“Penghentian penempatan buruh migran sektor domestik merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja PRT Migran dan melanggar Prinsip Umum yang diatur pasal 1 Konvensi Migran 1990, yaitu prinsip non diskriminas serta pelaksanaan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 mengenai Perempuan Buruh Migran,” jelasnya.
Berdasarkan data SBMI dan SP sampai Desember 2019 ini, terdapat 1019 kasus penempatan unprosedural yang terjadi semenjak diberlakukannya kebijakan ini, dengan kasus gaji tidak dibayar, penahanan oleh majikan, penahanan dokumen, pemalsuan dokumen, kekerasan fisik, kekerasan psikis bahkan kekerasan seksual serta traficking.
Hal tersebut berimplikasi pada tata kelola migrasi yang masih menempatkan buruh migran sebagai objek dan komoditas, sehingga rentan dieksploitasi oleh pihak agensi dan perusahaan perekrutan. Bagi perempuan buruh migran yang mayoritas bekerja di sektor paling rentan seperti pekerja rumah tangga, kekerasan dan pelanggaran hak menjadi semakin berlapis akibat struktur kuasa yang mendiskriminasi dan meminggirkan perempuan. Apalagi, proses penempatan sektor domestik di dalam UU No. 18/2017 masih diserahkan pada pihak swasta.
Hariyanto menegaskan, kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran yang masih terus terjadi dan dibiarkan adalah bentuk pengingkaran janji sekaligus kegagalan negara dalam menjalankan kewajiban terhadap warga negaranya.
Peringatan Hari Buruh Migran tanggal 18 Desember 2019 ini, selain Serikat Buruh Migran Indonesi, turut tergabung Solidaritas Perempuan, Jaringan Buruh Migran, Human Right Working Group dan LBH Jakarta.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana