
Banjir bandang yang melanda Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak di awal tahun 2020.
Bandung – Bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Kabupaten Lebak, dipicu sejumlah faktor, seperti faktor geografis dan perubahan tata guna lahan.
Ahli dan peneliti longsor dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung Adrin Tohari menyebutkan, longsor di Lebak Banten umumnya terjadi di daerah lereng dengan kemiringan curam di perbukitan maupun pinggir sungai.
Lapisan tanah dekat permukaan pada lereng perbukitan yang curam akan sangat mudah menjadi jenuh air.
“Saat hujan dengan intensitas lebat menjadi gampang longsor,” kata Adrin, Kamis, 9 Januari 2020 seperti dilansir Tempo.co.
Selain itu, longsor lereng sungai bisa disebabkan oleh aliran air sungai itu sendiri yang mengikis kaki lereng. Daerah tebing sungai tergolong rentan longsor.
“Saat hujan deras maka material tanah dan batuan akan terbawa oleh aliran air sungai,” kata Adrin.
Aliran sungai-sungai kecil yang memasok ke sungai besar bisa menjadi banjir bandang saat hujan turun dengan intensitas tinggi.
Mengenai kontribusi tambang ilegal terhadap kejadian longsor di Lebak, menurutnya dapat dikaitkan dengan faktor perubahan tata guna lahan.
Aktivitas manusia pada penambangan ilegal biasanya akan membuka lahan sehingga dapat mempengaruhi peningkatan laju infiltrasi air hujan ke dalam lereng tanah sehingga mengganggu kestabilan lereng.
Faktor perubahan tutupan lahan yang menjadi lebih terbuka menyebabkan air hujan akan cepat membuat lapisan tanah di lereng pinggir sungai mudah menjadi jenuh air dan rawan longsor. Pengurangan risiko dari kondisi itu dengan membuat konstruksi sabo dam.
“Tujuannya untuk mengurangi kecepatan aliran air dan menahan material lumpur,” jelas Adrin.
Dia juga menyarankan pemerintah daerah memindahkan masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah aliran sungai. Lahan daerah aliran sungai pun perlu ditanami pohon kembali. Banjir bandang yang terjadi 1 Januari 2020 itu berasal dari luapan Sungai Ciberang.
Berdasarkan data BMKG Banten, intensitas curah hujan saat itu yang tercatat Automatic Agroclimate and Weather Station (AAWS) Lebak sebanyak 35 milimeter per hari.
Sementara di Automatic Weather Station Banjar Irigasi mencapai 247,8 milimeter. Kedua stasiun pengamat curah hujan itu berada di Kecamatan Lebakgedong, Lebak, Banten.
Pemerintah Provinsi Banten masih menetapkan status tanggap darurat bencana hingga 14 Januari 2020.
Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy mengatakan enam kecamatan terdampak meliputi 11.400 jiwa dari 2.914 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 30 desa, korban jiwa sembilan orang.
Sebanyak 30 jembatan dan 19 sekolah rusak, 1226 rumah terendam, dan 520 rumah rusak ringan. Sebanyak 1.310 rumah rusak berat, hancur, juga hanyut terbawa arus. Pemerintah provinsi Banten menyatakan berfokus pada evakuasi korban dan pengungsi sambil tetap waspada karena prakiraan BMKG menyatakan masih ada potensi hujan ekstrem.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana
Sumber: Tempo.co