Pelanggaran Serius Wahidin Halim terkait Kebijakan Bank Banten Dibeberkan Pakar Konstitusi dan Pemerintahan Untirta

Date:

Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan Fakuktas Hukum Untirta Serang, Lia Riesta Dewi (kiri) saat menghadiri diskusi terbatas tentang “Nasib Interpelasi Pasca Divestasi Kasda” yang dilaksanakan Banten Lawyers Club (BLC) di salah satu rumah makan di Kota Serang, Senin, 22 Juni 2020.(Istimewa)

Serang – Kebijakan Gubernur Banten Wahidin Halim alias WH memindahan RKUD Pemprov Banten dari Bank Banten ke BJB telah menimbulkan kemelut yang luas biasa.

Pemindahan RKUD tersebut memicu rush alias penarikan uang oleh nasabah secara masif sehingga berdampak pada kondisi Bank Banten.

Hal tersebut disampaikan Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan FH Untirta Lia Riesta Dewi saat menghadiri diskusi terbatas tentang “Nasib Interpelasi Pasca Divestasi Kasda” yang dilaksanakan Banten Lawyers Club (BLC) di salah satu rumah makan di Kota Serang, Senin, 22 Juni 2020.

Kebijakan WH tersebut dinilai Lia telah melanggar peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah yang di mana disebutkan bahwa RKUD disimpan di bank yang sehat.

Ia memaparkan, pada saat pemindahan RKUD Bank Banten sedang masuk dalam pengawasan intensif OJK yang waktunya sampai 15 Juni 2020.

“Bank Banten sebetulnya belum dinyatakan tidak sehat oleh OJK karena jangka waktu pengawasan intensif belum habis. Selama pengawasan intensif ini OJK memberikan kesempatan kepada Bank Banten untuk memulihkan kondisi,” terangnya.

“Jika pada atas waktu belum juga terlihat pemulihan maka OJK baru akan mengeluarkan penilaian berikutnya salah satunya dinyatakan tidak sehat,” sambungnya.

Lia menegaskan, saat WH menarik RKUD kondisi Bank Banten belum ditetapkan OJK sebagai bank tidak sehat.

“Ibaratnya ikan lagi butuh oksigen, oksigennya diambil oleh gubernur, itu problemnya,” tegasnya.

Seharusnya, lanjutnya, kalau pun Pemprov Banten mau menarik RKUD semestinya menunggu keputusan OJK. Karena yang berhak mentukan bank sehat dan tidak sehat itu OJK.

“Dan (saat RKUD ditarik) OJK masih menunggu satu tahun sejak suratnya diberikan kepada Bank Banten yang menyatakan Bank Banten itu dalam pengawasan intensif,” ujarnya.

Surat Gubernur Banten Wahidin Halim kepada Ketua DPRD Banten soal penyehatan Bank Banten. (Istimewa)

Surat Gubernur Tak Mengikat

Saat eskalasi gelombang protes meningkat, WH yang juga suami Niniek Nuraini ini kemudian mengeluarkan surat kepada DPRD Banten tanggal 16 Juni 2020. Surat tersebut bernomor 580/1135-ADPEMDA/2020 tentang konversi dana kasda senilai 1,9 triliun menjadi setoran modal untuk Bank Banten.

Lia menjelaskan, dengan terbitnya surat tersebut banyak orang yang keliru menafsirkan, seolah-olah WH sudah menggelontorkan dana untuk penyehatan Bank Banten.

“Yang luar biasanya orang-orang banyak menyangka uang itu sudah diberikan gubernur, (sehingga ada pernyataan) mau apalagi mengajukan interpelasi, seharusnya wacana dihentikan Inilah yang harus saya luruskan,” ujarnya.

Menurutnya anggapan tersebut tidak tepat, karena surat gubernur kepada DPRD belum tentu menyelesaikan kemelut Bank Banten.

Surat itu bukan bagian peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, artinya surat tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan. Dia menduga surat itu hanya untuk meredam 15 Anggota DPRD Banten agar tidak melanjutkan interpelasi.

“Surat itu yang tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan, jadi saya surat itu untuk meredam khwatir 15 orang ini terus melanjutkan untuk mengajukan interpelasi,” ujarnya.

Dia menjelaskan, terdapat dua peraturan yang dikenal di Indonesia yaitu peraturan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan. Praturan perundang-undang memiliki daya ikat contohnya SK gubernur. Kemudian peraturan kebijakan tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan contohnya surat edaran.

“Sedangkan surat yang dibuat gubernur itu surat edaran juga enggak, peraturan kebijakan kebijakan bukan, apalagi peraturan perundang-undangan. Akhirnya saya bisa menyimpulkan surat gubernur Banten tidak atau belum menyelesaikankan kemelut Bank Banten. Karena hanya merupakan surat biasa yang tidak berakibat hukum, tapi akhirnya menjadi peredam wacana pengajuan hak interpelasi,” ujarnya.

Legal opinion (LO) alias pendapat hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia soal Bank Banten. (Istimewa)

Cuekin LO Kejagung dan OJK?

Sebelumnya klaim Gubernur Banten Wahidin Halim alias WH yang menyebut dirinya sudah berupaya banyak untuk menyehatkan Bank Banten, tak selaras dengan informasi yang disampaikan Kejaksaan Agung melalui legal opinion atau pendapat hukum Nomor B-713/G/Gph.1/12/2019 tanggal 30 Desember 2019.

Pendapat hukum tersebut menyebutkan hingga Desember 2018 Pemprov Banten selaku PSPT tak kunjung setor tambahan modal.

“Bahwa dalam proses pelaksanaan penyehatan Bank Banten terdapat hambatan di mana hingga saat ini Pemerintah Provinsi Banten sebagai Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT) belum menyetor penambahan modal,” demikian tertulis dalam dokumen pendapat hukum itu.

Akibat tak kunjung disetorkannya penambahan modal, lanjut pendapat hukum dalam dokumen itu, dapat berdampak terhadap keberlangsungan usaha Bank Banten, baik melalui pembekuan usaha dan atau likuidasi.

Senada disampaikan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK melalui surat bernomor SR 83/PB.31/2019 tanggal 14 Juni 2019.

Dalam surat tersebut OJK menyatakan, berdasarkan pengawasan hingga 14 Juni 2019, kinerja keuangan Bank Banten belum menunjukkan perbaikan signifikan.

“Bahkan terjadi peningkatan kerugian tahun berjalan, serta belum terealisasinya rencana tambahan modal disetor oleh Pemegang Saham Pengendali Terakhir (SPPT),” begitu tertulis dalam surat.

Sejak Bank Banten resmi dimiliki Pemprov Banten melalui BUMD PT Banten Global Development (BGD) 2013 lalu, diketahui Pemprov Banten sudah menyetorkan tambahan modal sebesar Rp 614,6 miliar.

Hal tersebut diakui Wahidin Halim dalam Surat Gubernur Banten yang ditujukan kepada Ketua DPRD Banten tanggal 16 Juni 2020. Surat tersebut bernomor 580/1135-ADPEMDA/2020.

Saat ditanya BantenHits.com soal masa penyetoran tambahan modal senilai Rp 614,6 miliar itu, Kepala BPKAD Banten Rina Dewiyanti mengatakan setoran dilakukan dua tahap.

“Tahun 2013 sebesar Rp 314 M dan tahun 2016 sebesar Rp 300 M,” kata Rina melalui pesan WhatsApp, Minggu, 21 Juni 2020.

Praktis,sejak saat itu hingga 2020 ini Pemprov Banten tak pernah menyetorkan tambahan pernyataan modal.

Dalam surat bernomor 580/1135-ADPEMDA/2020 tersebut dinyatakan Pemprov Banten akan menyetorkan sisa kewajiban penambahan penyertaan modal sebesar Rp 335,4 miliar dari seluruh total Rp 950 miliar.

Melalui surat itu juga WH mengatakan, Pemerintah Provinsi Banten akan menyetorkan sisa tambahan melalui anggaran APBD Perubahan Provinsi Banten 2020.

Pertanyaannya, kenapa setoran baru dilakukan 2020 ini? Bukankan sudah ada pendapat hukum Kejagung dan saran OJK?

Soal tak disetorkannya penambahan modal untuk Bank Banten, Rina mengaku, Pemprov Banten memiliki alasan. Namun Rina memilih bungkam saat ditanya soal alasan tersebut.

“Untuk masalah ini (tak dicairkan penyertaan modal) tentu ada alasannya,” ungkapnya.

Rina juga tak merespons pertanyaan BantenHits.com soal pertimbangan Pemprov Banten mengabaikan pendapat hukum Kejagung dan saran OJK terkait penyehatan Bank Banten.

Editor: Darussalam Jagad Syahdana

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Jumat Curhat Polda Metro Jaya di Legok; Cara Humanis Polsek Legok Ciptakan Kamtibmas dan Dekatkan Diri ke Warga

Berita Tangerang - Kejahatan jalanan dan kenakalan remaja menjadi...

Respons Aduan Warga, KASN Lakukan Analisa dan Akan Minta Klarifikasi Sekda Kabupaten Tangerang

Berita Tangerang - Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN...

Sekda Kabupaten Tangerang Dilaporkan Warga Sukamulya ke KASN terkait Dugaan Pelanggaran Etik ASN

Berita Tangerang - Sekretaris Daerah atau Sekda Kabupaten Tangerang,...

Digugat Warga dan ‘Diminta’ Pengembang, Bagaimana Nasib 24 Aset Milik Pemkab Tangerang Sekarang?

Berita Tangerang - Sedikitnya 24 aset Pemkab Tangerang saat...