Jakarta – Analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL PLTU Jawa 9 & 10 di Suralaya, Kota Cilegon yang diterbitkan Gubernur Banten Wahidin Halim alias WH disebut cacat hukum dan memuat kekeliruan informasi.
Karena itu, Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI mengirim surat keberatan atas izin lingkungan PLTU Jawa 9 & 10, Suralaya kepada Gubernur Banten.
“Dengan surat keberatan ini, kami menuntut agar Gubernur Banten menunda dan mencabut izin lingkungan PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek pembangunan ini hanya akan mendatangkan mudarat dan akan merugikan lingkungan hidup,” ungkap Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Ronald Siahaan dalam keterangan tertulis kepada BantenHits.com.
Dalam suratnya, WALHI menyertakan beberapa alasan keberatan pertama AMDAL PLTU Jawa 9 dan 10 mengandung kecacatan hukum dan kekeliruan informasi, kedua Izin Lingkungan Jawa 9 & 10 tidak dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal, dan ketiga partisipasi masyarakat dalam penyusunan Izin Lingkungan lemah .
Kualitas Udara Buruk
WALHI menilai, PLTU Jawa 9 & 10 akan menambah daftar panjang PLTU batubara yang mengelilingi ibukota Jakarta. Tahun lalu, Jakarta mendapat predikat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia karena banyaknya PLTU batubara yang yang beroperasi di sekitar Jakarta, termasuk Banten.
Selain itu, data Kemenkes 2018 menunjukkan Provinsi Banten merupakan 5 teratas provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi, sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Cilegon pada tahun 2019, mencatat bahwa penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk Cilegon adalah ISPA dengan 39.455 kasus.
Analisis model dampak kesehatan rencana pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 oleh Greenpeace Indonesia menemukan, PLTU ini dapat mengakibatkan 4.700 kematian dini selama masa operasinya.
“Ini menggambarkan bahwa proyek Jawa 9-10 akan semakin menambah beban ekologis Banten. Terlebih, saat ini pesisir Banten memiliki tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi,” ungkap Ronald.
Jika tetap dilaksanakan, maka kerentanan ekosistem pesisir semakin bertambah. Dengan demikian, keberadaan PLTU juga akan menambah kerentanan wilayah dan masyarakat terhadap bencana ekologis yang disebabkan dari akumulasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
“Maka merencanakan proyek atau pembangunan yang membebani lingkungan hidup tinggi sama halnya dengan sedang merencanakan bencana, memberikan izin lingkungan sama halnya dengan “mempersilahkan” Banten dikepung bencana,” tegas Ronald.
Tak Menguntungkan secara Bisnis
WALHI juga memaparkan, studi pra-kelayakan dari lembaga pengembangan Korea Selatan menilai proyek PLTU Jawa 9 & 10 tidak menguntungkan dari segi bisnis.
Selain Korea Electric Power Corporation (KEPCO), lembaga keuangan publik Korea Selatan seperti Korea Development Bank (KDB), Korea Expor Impor Bank (KEXIM), Korea Trade Insurance Corporation (K-Sure) memiliki andil besar dalam mendanai pembangunan PLTU batubara Jawa 9 & 10.
Beberapa bank di Asia juga terlibat dalam kredit sindikasi untuk pembiayaan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10. Manajer sindikasi kredit untuk PLTU Jawa 9 dan 10 adalah DBS Singapura. Bank dari Malaysia juga diketahui terlibat sebagai peserta sindikasi yaitu CIMB dan Maybank, juga Bank of China, Tiongkok.
Sedangkan dari Indonesia, bank yang terlibat adalah Bank Mandiri, BNI dan Indonesia Eximbank. Selain itu, Bank Hana dari Korea Selatan juga terlibat dalam kredit sindikasi ini.
Bersama mitranya di Indonesia, PLN, para investor tersebut hanya akan menderita kerugian apabila PLTU Jawa 9 dan 10 menjadi aset terlantar.
Diungkapkan SEA Energy Finance Campaigner dari Market Forces, Binbin Mariana, investasi pada proyek yang memiliki cacat hukum dan berpotensi atas pembatalan izin lingkungan merupakan keputusan yang sangat tidak rasional.
Masalah ini, kata Binbin, akan berdampak pada proses pembangunan PLTU Jawa 9 & 10, sehingga proyek ini berpeluang menjadi aset terlantar yang dapat merugikan para investor.
“Tidak ada satupun hal positif dari proyek PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek ini hanya akan menambah panjang sejarah degradasi kualitas udara dan penurunan mata pencaharian bagi komunitas terdampak di Indonesia, selain memperkeruh dampak fatal perubahan iklim,” kata Binbin.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana