Dear Mendikbud, Ini Masukan dari Akademisi di Banten Jika Ingin Belajar Daring Maksimal

Date:

IMG 20200911 134351 scaled
Akademisi Banten yang juga Kaprodi PGSD UPI Kampus Serang, Supriadi menyarankan Mendikbud merivisi kurikulum untuk belajar daring.(BantenHits.com/ Mursyid Arifin)

Serang – Metode pembelajaran daring sudah hampir enam bulan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, menyusul pandemi Covid-19. Beragam masalah kemudian muncul seiring pemberlakuan belajar daring.

Akademisi dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Serang, Supriadi menilai, akar permasalahan dari metode pembelajaran daring adalah kurikulum pendidikan yang belum direvisi.

Selain itu, tantangan sinyal bagi anak didik yang ada di daerah blankspot yang belum terjamah jaringan telekomunikasi. Sehingga dalam penyampaian materi pembelajarannya kurang efektif.

Menurut Supriadi, kurikulum yang dijalankan saat ini, di tengah situasi pandemi Covid-19 masih menggunakan konsep tatap muka.

Artinya, kurikulum yang dijalankan hari ini memang belum didesain untuk mengahadapi situasi pandemi. Sehingga masih menggunakan kurikulum lama yang tatap muka (luring). Sementara para siswa belum siap menghadapi pembelajaran dengan sistem daring tersebut.

“Sebenernya akar permasalahannya kurikulum. Jadi kurikulum yang dibuat itu mekanismenya masih pembelajaran tatap muka, sehingga anak-anak khususnya dalam pembentukan karakternya tidak dapat diperoleh,” kata Supriadi kepada BantenHits.com saat ditanya soal pendidikan di tengah pandemi, di ruangan kerjanya, Jumat, 11 September 2020.

Supriadi menilai, metode pembelajaran daring ini tujuannya hanya untuk menjaga kesehatan supaya tidak terpapar Covid-19, yang akhirnya tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai. Jikalau selama ini kurikulum yang disusun oleh para stackholder masih dengan cara menerapkan pembelajaran tatap muka, maka jauh dari harapan pendidikan nasional.

“Saya harapkan pembelajaran ini harus dibuat dulu kurikulumnya sesuai dengan situasi saat ini. Dan ini belum dilakukan baru sedang didesain oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Supriadi menjelaskan, terkait dengan adanya siswa-siswi yang masih terkendala sinyal atau jaringan internet dalam pembelajaran jarak jauh maka perlu adanya inovatif dari seorang guru dan kepala sekolah. Apakah membuka tempat khusus bagi yang ada di pelosok desa atau ada metode lain, tetapi dengan catatan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

“Karena kurikulumya masih kurikulum lama. Jadi tidak mungkin semua siswa dilayani oleh satu guru dalam sewaktu. Mungkin bisa dengan cara bergantian dengan menggunakan sistem roling,” kata Supriadi menyarankan.

Menurut Supriadi, pembelajaran metode daring lebih mengurangi beban gurunya. Namun pertanyaannya ketika ada siswa yang tidak paham mereka bertanya ke siapa? Youtube atau Google?

“Jadi ketika kurikulum yang sekarang dipaksakan, tetap harus ada tempat agar bagaimana anak itu kalau ada keluhan dalam pembelajaran bisa langsung bertanya ke gurunya atau bisa gurunya meluangkan waktu untuk memberikan pembelajaran langsung datang ke tempat yang dituju dengan tetap menerapkan protokol kesehatan,” ungkapnya.

Kepala Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Kaprodi PGSD) UPI Kampus Serang itu menyadari, memang pembelajaran yang namanya menggunakan digital itu tidak harus terlalu lama. Karena metode daring dengan kata lain singkronus dan asinkronus. Hanya saja hal tersebut perlu diteliti berapa lama kuatnya seorang siswa dalam belajar daring. Tetapi sayangnya metode itu juga belum diteliti. Makanya yang perlu tetap interaksi ialah antara guru dan anak didiknya.

Asinkronus yang Supriadi maksud adalah proses komunikasi data yang tidak terikat dengan waktu tetap. Sedangkan sinkronus digunakan untuk suatu kejadian yang terjadi waktu pada waktu bersamaan.

“Sebetulnya yang aneh tuh begini, di dalam fenoma sekarang ini kenapa anak-anak bisa main ke mall, bisa main ke alun-alun, bisa main ke bioskop, bisa main  ke pantai tapi kenapa nggak bisa ke sekolah? Nah, pertanyaan itu yang belum bisa dijawab sampai sekarang juga. Apakah di Sekolah yang lebih rentan dalam penyebaran virus. Padahal justru di sekolah bisa mensiasati dan berikhtiar supaya tetap terjaga dari paparan virus tersebut. Justru kalau di tempat keramaian itu lebih susah, tapi kok kenapa itu diperbolehkan?” tanya Supriadi mengakhiri perbincangannya.

Editor: Darussalam Jagad Syahdana

 

Author

Cek Berita dan Artikel yang lain di:

Google News

Terpopuler

Share post:

spot_img

Berita Lainnya
Related