“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar Rum:41).
Di atas adalah firman Allah dalam Alquran sengaja saya kutip sebagai suatu referensi relevan kerusakan lingkungan hari ini, sebagai akibat buah tangan dari perbuatan manusia yang tidak berada dijalan yang benar (sesat).
Dalam ayat ini, Allah sudah sangat jelas mengatakan bahwasanya ulah manusialah kerusakan lingkungan di muka bumi dan tanggungan atas akibat dari apa yang sudah diperbuat. Maka jika kita melihat dari perspektif lingkungan, tentunya ini sangat relevan dari segala penomena yang telah terjadi.
Lingkungan sudah banyak memberikan kita pelajaran lewat hukuman khas indiskriminatif. Bencana yang timbul sebagai akibat logis kealpaan menjaga lingkungan seperti pemanasan global, penurunan mutu dan kelimpahan sumberdaya alam, abrasi, polusi, banjir, longsor, musnahnya spesies di ikuti munculnya berbagai wabah meningkatkan resiko terhadap kesehatan serta keselamatan manusia.
Namun sayangnya, itu tidak cukup membuat sadar kita dikarenakan terlanjur menetapkan eksploitasi sumberdaya alam dengan use oriented law menekankan pada profit tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan pada lingkungan.
Hegemoni ekonomilah menjadikan lingkungan terdegradasi sehingga kerusakan ekologis kian pasti. Nafsu tamak dan rakus atas penguasaan sumberdaya alam mengobarkan semangat eksploitasi barbar dengan memarjinalkan kepentingan masyarakat lain seperti hak untuk hidup sehat.
Proses eksploitasi dalam hal ini pertambangan yang dilakukan tanpa ijin, atau main mata dengan oknum kuasa sehingga ijin hanya formalitas belaka.
Rasanya dugaan umum tersebut jelas adanya jika melihat fakta di lapangan yang menyedihkan. Parahnya lagi, buah ekploitasi lingkungan serampangan tak jarang menimbulkan konflik dengan kekerasan (Violence Conflicts) bagi masyarakat yang menolak pertambangan.
Mungkin kita masih ingat salim dan kancil di rembang dan konflik masyarakat anak dalam di jambi dengan pihak perusahaan sawit belum lagi kasus-kasus yang lainnya. Intinya bahwa eksploitasi sumberdaya alam hari ini dilaukan semata-mata demi mengejar profit bukan lagi berbicara kelestarian fisik lingkungan tetapi mencakup dimensi kepentingan subjek pelakunya.
Maka dari itu, menurut hemat saya kita perlu mereplesikan kembali esensi dari musibah yang datang silih berganti yang diakibatkan kemurkaan alam. Koreksi dan partisipasi public sangat diperlukan sehingga segala penyimpangan dapat dihindarkan. Termasuk penyimpangan perizinan pertambangan.
Dosa Lingkungan yang Dipaksa Tiada
Sifat hakiki dari aktivitas pertambangan yakni adanya pembukaan lahan dan eksploitasi sumber daya alam baik skala micro maupun makro. Oleh karena itu setiap aktivitas pertambangan pasti akan mengubah bentang alam. Hal ini berakibat pada adanya dampak negatif terhadap kehidupan dalam suatu ekosistem baik biotik (manusia, hewan, tumbuhan, jamur dan microba) maupun Abiotik (air, udara dan sumber daya alam tambang).
Dalam kegiatan pertambangan kerusakan lingkungan pasti terjadi. Pasalnya aktivitas pertambangan merupakan proses ekploitasi sumberdaya tambang yang secara alamiah membentuk kesatuan saling mempengaruhi dengan sumbr daya alam lainnya. Inilah kemudian yang menjadikan pertambangan sangat erat dengan kerusakan lingkungan (Enveronmental Deterioration).
Kerusakan (Deteriorasi) lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan ekploitasi sumberdaya tambang jika melebihi ambang terpulihkan (renewable threshold) akan menimbulkan kerusakan yang permanen dengan akibat degradasi lingkungan yang permanen pula.
Sebagai contoh dampak paparan merkuri (Hg) dari penambangan emas ilegal yang tidak bisa hilang bersifat toksik baik dengan tanah maupun tanaman konsumsi sehingga mengancam kesehatan masyarakat. Belum lagi musnahnya flora dan fauna akibat bukaan hutan pertambangan.
Dalam pertambangan yang besar, deforestasi kian pasti mengingat kebutuhan lahan hutan yang luas. Deforestasi merupakan hilangnya tutupan hutan beserta atribut-atributnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Atau dengan kata lain diartikan hilangnya areal hutan secara permanen akibat perbuatan aktivitas manusia. (perlu diketahui bahwa hutan indonsia hilang seluas 1,13 juta hektar setiap tahunnya periode 2009-2013. atau kecepatannya setara dengan 3 kali luas lapangan bola permenit (Forest Watch Indonesia, 2018).
Deforestasi pula berakibat pada perubahan sifat pisik dan kimia tanah sehingga berdampak pada kualitas tanah yang mudah mengalami erosi memungkinkan unsur-unsur esensial terkikis.
Jika demikian maka tanah menjadi kurang produktif. Pembukaan kanopi hutan pula dapat meningkatkan suhu tanah dan laju evapo-transpirasi yang lebih tinggi sehingga tanah akan kering. Tidak adanya akar pohon yang memopang tanah kering menungkinkan air hujan tidak tertahan sehingga banjir pun tidak bisa terhindarkan. Pun demikian bukan berarti pertambangan tidak penting untuk kita.
Pertambangan sangat penting untuk menunjang kehidupan kita. Kita bisa menggunakan HP, kendaraan, TV, komputer, alat-alat kesehatan, kosmetik, listrik, emas dan lainnya itu berasal dari proses aktivitas pertambangan.
Namun mengingat dampak negatif yang ditimbulkan begitu besar, maka proses pertambangan harus dilakukan dengan arif dan memakai kaidah Good mining Praktic menempatkan aspek pengelolaan lingkungan yang paling utama.
Pada dasarnya jika mengacu pada aturan yang telah ditetapkan pemerintah, sebelum melakukan aktivitas maka analisis dampak lingkungan (AMDAL) atau dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL UPL) harus ada.
Kemudian AMDAL harus disosialisaskikan pada pemangku kepentingan pertambangan. Selain itu, dokumen rencana reklamasi dan pasca tambang harus tersedia bertujuan memastikan aktivitas pertambangan dilakukan dengan memperhatikan pengelolaan lingkungan secara bertanggung jawab dan berklanjutan. Aturan terkait yakni Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 tentang pedoman pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik.
Namun sangat penting sekali dikaji apakah aturan pertambangan direalisasikan dengan benar mengingat maraknya pertambangan tanpa ijin (PETI) ilegal dilakukan personal (masyarakat) atau perusahan. Selain itu perusahan pemegang ijin usaha Pertambangan (IUP) yang sudah beroprasi tidak taat aturan seperti membiarkan lubang bekas galian.
Perlu diketahui bahwa 2 juta rakyat menggantungkan hidup pada PETI (Nugroho, 2020) dan KPK menemukan dari 10.000 pada tahun 2019 izin tambang perusahan, 60% nya bersipat ilegal. Hal ini diperparah dengan kurangnya tindakan tegas ESDM (Kompas, 27/11/2019).
Banyaknya perusahan yang melakukan pelanggaran terutama terkait reklamasi dan tidak menutup lubang bekas tambang setelah dieksplorasi. Lemahnya penegakan aturan dan pengawasan bagi perusahan pemegang IUP/IUPK ataupun PETI oleh otoritas penegak hukum diduga karena adanya relasi antar oknun aktor pengusaha dengan oknum penegak hukum, atau pemerintah yang berhak mengeluakan proses perijinan dan pengawasan serta penindakan.
Maklumlah pertambangan dikategorikan merupakan lahan basah tempat pundi-pundi rupiah terhimpun. Menegakan hukum di lahan basah perlu iman yang teguh dan kuat!. Maka lucu jika berbagai pelanggaran yang nyata terjadi tidak diketahui mengingat pertambangan bukan jarum yang ada dalam tumpukan jerami.
Penegak hukum dan pemerintah daerah/ pusat terkesan menutup mata tanpa tindakan tegas daan pembinaan. Nyatanya kendati ditemukan pelanggaran, diduga selesai dengan diskusi tanpa solusi pasti namun berapa kontribusi upeti untuk oknum kuasa.
Jika storan lancar pertambangan tetap berjalan, mandet ditindak pidanakan. Inilah dugaan yang sepertinya hampir khalayak ramai sudah mengetahuinya. Belum lagi proses perijinan yang terkesan tertutup bagi public sehingga ketika beroprasi ditemukan kejanggalan memancing riak protes publik.
Lagi – lagi intrik politik suap sangat kuat terbukti dengan banyaknya yang terjaring KPK tengok saja kasus. Jika ini dibiarakan terus menerus selain merugikan negara, kerusakan lingkungan dan bahaya yang harus ditanggung oleh masyarakat cukup besar.
Buah dari orientasi kepentingan sesaat dengan resiko yang di timbulkan sangat hebat. Perusahan pemegang IUP/IUPK ataupun PETI mendulang profit tanpa memikirkan efek negatif pertambangan karna begitu selsai mengeksploitasi mereka pulang tanpa tindakan reklamasi dan penutupan galian pertambangan.
Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa mei 2019 ada 1735 lubang tambang perusahan di kalimantan yang tidak di reklamasi dan menewaskan 36 orang periode 2011 – 2020. Bayangkan itu di Kalimantan lalu bagaimana dengan di Banten?
Partisipasi Masyarakat dan Ekonomi Hijau
Partisipasi masyarakat memegang fungsi yang baik dalam hal pengawasan terhadap aktivitas pertambangan. Masyarakat berguna untuk memastikan apakah pertambangan dilakukan dengan menggunakan tekhnologi ramah lingkungan, memiliki perijinan dan menjalankan CSR.
Ini penting mengingat eksploitasi sumber daya pertambangan berkaitan dengan sumber daya tidak terbarukan yang akan memberikan efek negative terhadap lingkungan.
Peran masyarakai ini secara spsifik yakni pertama memastikan suatu kegiatan dan proyek pertambangan pada lokasi yang tepat menurut kaidah kologi dan memiliki ijin.
Kedua memastikan bahwa pembuangan limbah pertambangan tidak menecmari lingkungan dan ketiga aktivitas petambangan tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (Carrying Capacity) serta perusahan melakukan prbaikan lingkungan pasca tambang.
Ekonomi hijau (Green Economy) merupakan proses internalisasi dampak kegiatan ekonomi terhadap lingkungan. Proses aplikasi dari penerapan ekonomi hijau ini dicirikan dengan proses AMDAL pada waktu rncana kegiatan ekonomi/ investasi dilakukan sampai proses penanggulangan limbah tambang.
Pada hakikatnya bahwa ekonomi hijau (Green Economy) ini sejatinya pengembangan dari Sustainabl Development Goals (SDGs) yakni pembangunan yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Ada beberapa alasan kenapa kita harus mampu menerapkan ekonomi hijau (Green Economy) yakni pertama menyangkut alasan moral. Genarasi kini yang menikmati barang dan jasa dari hasil ekploitasi sumber daya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan sumber daya alam tersebut bagi generasi mendatang.
Kewajiban moral tersebut dengan tidak mengekstrasi sumber daya alam yang merusak lingkungan. Kedua menyangkut ekologis, dimana keanekaragaman hayati mampu di seimbangkan dengan meminimalisir kerusakan yang dilakukan akibat ekploitasi.
Ketiga aspek ekonomi dimana masyarakat sekitar dapat berkontribusi melalui dua sisi yakni sebagai pelaku dengan di libatkan sebagai tenaga pekerja yang menerima tunjangan gaji bulanan dan sebagai penerima manfaat. Pembangunan insfrastuktur yang inklusif dan berkelanjutan akan sangat membantu masyarakat dalam mobilisasi ekonominya serta tanggung jawab perusahan dalam memberikan akses kesehatan sebagai tanggung jawab sosial.
Penulis: Jajang Miharja, seorang dosen sekaligus aktivis sosial yang memiliki latar belakang pendidikan Biologi.