Lebak- Kisah haru Teti Nurhayati (9) dan Putri Nurhayati (7) layaknya bisa menjadi contoh untuk masyarakat luas.
Bagaimana tidak, dua bocah asal Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak itu memiliki semangat juang yang tinggi dalam mengenyam pendidikan.
Meskipun dalam realita nya, Teti dan Putri kerap kali dihantui halang rintang. Salah satunya cemoohan dari teman-temannya.
Ya, Teti dan dan Putri merupakan anak penambal perahu bernama Tanto Gunawan (47). Tanto berjuang menyekolahkan anak-anaknya meski serba kekurangan.
Teti bercerita, dirinya beberapa kali diejek oleh temannya karena pernah tinggal di tenda pinggir laut. Saat sekolah normal sebelum pandemi, 2018 lalu, Teti masih kelas satu SD.
Dia bercerita temannya pernah mengatakan Teti tidak punya rumah.
“Diledekin enggak punya rumah, tinggal di tenda, aku diem saja,” Cerita Teti.
Ledekan itu pun, tak menyurutkan Teti untuk tetap berangkat sekolah. Ia juga tidak pernah mengeluh saat kaki kecilnya menyusuri jalanan di pinggir laut dan melintasi jembatan seorang diri untuk pergi ke SD Bayah.
Dia malah bercerita dengan senang menyusuri jalan ke sekolah dan saat pulang seorang diri.
Teti mengatakan dia sangat ingin sekolah karena di sana dia bertemu dengan teman-teman lain dan belajar banyak hal. Walaupun di sekolah dia juga jarang jajan, karena bapaknya, Tanto, tidak punya uang cukup, selain untuk makan sehari-hari.
Saat sudah pindah ke rumah sekarang yang dibangun hasil swadaya, Teti menuturkan kerap diledek oleh teman sebayanya di kampung dekat rumahnya, mereka bilang Teti tinggal di kolong jembatan.
“Tapi aku mah enggak malu, betah tinggal di sini,” kata Teti.
Rumah yang dibangun untuk keluarga mereka memang berada di pinggir jembatan Bayah Dua, bahkan akses ke rumah tersebut harus melalui kolong jembatan.
Teti dan Putri Nurhayati, saat ini dia mulai masuk sekolah tatap muka. Teti kelas tiga sementara Putri mulai bersekolah kelas satu SD.
Satu hari mulai sebelum sekolah tatap muka dimulai, Teti dan Putri belum punya seragam. Memang Teti ada seragam bekas kelas satu dulu, namun sudah lusuh dan juga kecil. Sementara Putri tidak punya sama sekali.
Selain seragam, mereka juga belum punya perlengkapan sekolah lainnya seperti buku hingga sepatu.
Saat ditanya bagaimana sekolahnya? dia menjawab akan bergantian seragam dengan kakaknya Teti.
“Pakai baju muslim saja, atau nanti kalau kakak sudah pulang sekolah, bajunya gantian aku pakai,” kata Putri.
Ayah keduanya, Tanto Gunawan, mengatakan tidak punya biaya untuk membeli seragam baru. Selain untuk Teti dan Putri, Tanto juga tengah mencari seragam untuk Bagas, kakak Teti dan Putri yang mulai masuk sekolah SMK.
Bagas sempat masuk sekolah pada Kamis 19 Agustus lalu, menggunakan seragam SMP karena belum punya seragam putih abu-abu.
Tanto sudah keliling ke perkampungan mencari seragam bekas dari warga lain yang bisa dipakai oleh Bagas. Namun tidak menemukannya.
Keinginannya untuk beli seragam baru, dirasanya tidak memungkinkan karena dia hanya punya uang Rp100.000, uang terakhir untuk bekal makan satu keluarga, setidaknya harus cukup dalam tiga hari ke depan.
Tanto bercerita, Sebagai buruh penambal perahu, dia tidak bisa mendapatkaan uang setiap hari. Upahnya biasa dibayar per tiga hari, atau bahkan seminggu ketika pekerjaan menambal perahu selesai.
Itupun tidak setiap hari pekerjaan itu didapat. Bayarannya bervariasi mulai dari 100 hingga 300 ribu rupiah untuk satu pekerjaan.
Uang tersebut, kata dia, harus dicukupkan untuk kehidupan sehari-hari keluarganya. Di rumah, Tanto jadi orang tua tunggal, dia sudah berpisah dengan istrinya sejak beberapa tahun lalu.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana