Jakarta – Pemerintah Indonesia harus mencermati dan mengambil pelajaran dari krisis energi yang terjadi di Inggris dalam sepekan terakhir, sehingga Indonesia tidak mengalami hal serupa di kemudian hari.
Bukan tanpa alasan. Pasalnya, akhir-akhir ini kebijakan serupa, yakni transisi energi dari fosil ke sumber energi bersih (EBT) tengah hangat-hangatnya dibahas Pemerintah.
Hal tersebut disampaikan Anggota DPR RI dari Dapil Banten 2, Mulyanto, saat Rapat Panja Listrik Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik Kementerian ESDM dan Dirut PLN, Rabu 29 September 2021.
Rapat tersebut membahas tentang penyusunan RUPTL yang sudah lewat sembilan bulan.
“Krisis energi di Inggris yang menjalar ke Eropa harus menjadi pelajaran bagi pengelolaan transisi energi kita, terutama terkait semangat untuk menghentikan lebih cepat operasi PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) dan menggenjot EBT (energi baru terbarukan),” kata Mulyanto dalam rapat seperti dilansir dalam keterangan tertulis kepada BantenHits.com.
Mulyanto meminta Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, menyusun kebijakan dan program pengembangan ketahanan energi berdasarkan pada kepentingan energi nasional. Bukan sekedar ikut-ikutan tren dunia apalagi didikte pihak pemodal.
“Manajemen energi kita harus benar-benar berdasar pada national interest bukan sekedar latah atau didikte keinginan pihak luar. Karena ujung-ujungnya yang akan merugi dan menjadi korban adalah rakyat dengan menanggung harga energi yang mahal,” tegasnya.
“Dalam rangka mensejahterakan rakyat kita membutuhkan energi yang bersih dan murah. Apalagi sumber dayanya melimpah secara domestik,” imbuh Mulyanto.
Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini menyebutkan sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tentu harus mengikuti aturan main internasional yang telah disepakati bersama secara fair.
Namun di atas itu semua, kepentingan nasional terkait kesejahteraan masyarakat adalah yang utama. Jangan sampai Indonesia didikte dan dipaksa mengikuti kemauan pihak luar, apakah melalui pemboikotan bank-bank internasional terhadap PLTU atau melalui kebijakan-kebijakan lain yang dapat merugikan masyarakat.
“Kasus Inggris yang kembali ke batubara adalah contoh aktual untuk kita. Hukum besi dunia memang seperti itu. Di atas hukum internasional tetap ada hukum domestik, yakni nasional interest masing-masing negara,” kata Mulyanto.
“Tidak mungkin Inggris mengorbankan masyarakatnya demi komitmen atas energi bersih mereka. Tetap yang utama adalah kesejahteraan rakyat mereka. Setiap negara fokus untuk memperjuangkan kepentingan nasional mereka,” lanjutnya.
Berkaca dari hal itu, Mulyanto meminta Pemerintah Indonesia juga menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas.
“Kita pun harusnya demikian. Kesejahteraan masyarakat kita adalah hal yang utama. Ini adalah national interest yang diamanatkan dalam pembukaan Konstitusi kita. Jangan mau dicocok-hidung oleh pihak asing. Termasuk dalam masalah energi,” tandas Mulyanto.
Sebelumnya diberitakan dalam dua pekan belakangan Inggris mengalami krisis pasokan energi. Hal ini disebabkan karena tidak mulusnya proses transisi energi mereka dari pembangkit listrik batu bara ke gas. Akibatnya distribusi gas terganggu dan harga melambung, sehingga menyebabkan kelangkaan.
Akibat gangguan tersebut maka produksi energi menjadi terbatas. Masyarakat Inggris kalut dan melakulan aksi panic buying. Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Inggris akhirnya menetapkan kembali penggunaan batu bara untuk produksi energi.
Indonesia juga tengah intens membahas kebijakan transisi energi ini dengan meningkatkan porsi pembangkit listrik dari sumber EBT dan mengurangi peran energi fosil. Ditargetkan tahun 2060 Indonesia bebas dari emisi karbon.
Editor: Fariz Abdullah