Jakarta – Fenomena buzzer merupakan konsekuensi dari demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Buzzer bisa juga dikatakan sebagai hama demokrasi.
Demikian disampaikan Menko Polhukam, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dalam diskusi “Politik Kebangsaan, Pembangunan Daerah dan Kampung Halaman” yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara online, Rabu, 29 September 2021.
“Kalau di era dulu kan berbicara jelek mengenai presiden saja, bisa hilang (keberadaan buzzer). Sedangkan sekarang dapat berbicara apa saja kemudian menyerang beramai-ramai,” kata Mahfud seperti dilansir dalam keterangan tertulis yang diterima BantenHits.com dari Universitas Paramadina.
Terkait menurunnya indeks demokrasi, Mahfud menyatakan bahwa hal itu bukan hanya bertumpu pada pemerintah saja.
“Tetapi kembali juga kepada masyarakat yang tidak toleran dan juga adanya pandemi COVID-19 yang mengharuskan pemerintah bertindak keras sehingga terlihat pemerintah tegas dan seperti menghalangi orang lain,” ungkapnya.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini turut menyinggung kehadiran buzzer atau relawan di era demokrasi seperti sekarang ini.
“Pengaruh yang dimiliki buzzer atau relawan ini sangat dahsyat sekali karena memiliki daya dongkrak yang negatif luar biasa,” ucapnya.
Anti-Islam
Menurut Didik, persepsi masyarakat terhadap pemerintah saat ini terbelah; ada yang menganggap pemerintah saat ini anti Islam namun ada beberapa pihak juga yang menyangkal hal ini karena adanya tokoh Islam di jajaran pemerintahan seperti Mahfud MD.
“Tapi jika dibandingkan dengan kejadian di lapangan (ada pihak) yang memberikan pilihan antara Pancasila dan Islam sehingga seperti menyudutkan Islam,” terangnya.
Mahfud MD menepis anggapan yang menyebut pemerintah saat ini anti-Islam karena hampir seluruh elemen Islam ada dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
“Kalau pengertiannya anti Islam kan berarti benci, ketakutan atau malu terhadap Islam. Tetapi kalo dilihat sekarang pemerintah itu hampir semuanya Islam seperti NU, Muhammadiyah, HMI, sangat dominan hingga eksekutif, legislatif hampir semuanya Islam,” bebernya.
“Sehingga tidak ada yang dinamakan politik anti Islam karena hampir semua aspirasi mengenai Islam itu diterima semua misalnya undang-undang pesantren, hari santri hingga adanya dana abadi dimana pemerintah menyediakan dana untuk pengembangan pesantren,” pungkasnya.
Editor: Fariz Abdullah