Apa kabar kereta kuda malam yang bergerak dalam rintik hujan kampungku
Dulu, sekarang atau nanti
Aku yakin ringkikmu masih semurni rumput hijau pesawahan itu
Tak perlu kemajuan teknologi* seperti aku yang hendak mengenang kembali keraguan pada detak sepatu besimu
Jatuhan air langit malam itu, juga telah memecahkan kebimbangan roda kayu yang terus berputar menyeret kereta perindu
Ada bara api yang coba kau tanamkan dalam sanubariku
Walau tanpa kebengisan alexandra, frey, kenzo atau apalah namanya
Namun aku yakin ada harapan besar saat jarimu meliuk-liuk di mukaku
Sekuat ringkikan dan setulus gemerincing kepribadianmu
O, tak perlu kemajuan teknologi memang untuk menggerakan keperkasaanmu
Lalu, harus kulukiskan seperti apalagi saat bola matamu terus mengiris liar jantungku
Menyeretku pada hitungan masa depan yang terkadang matematis seperti teori logaritma
Tanpa beribu kata, tapi kereta tetap berjalan
Menyusuri setiap lekuk bebatuan yang masih menyisakan tanya
Pada jembatan besi kolonial yang genit dicumbui tatapanmu
Seperti pada jendela tua dan rindangnya bunga pagar
Seindah liukan tubuhmu memaksa kereta perindu berjalan
Ada mimpi yang kubangun pada pasir hitam di halaman itu
Saat kereta perindu menyapa embun pagi kampungku
Ada kecemasan saat bayanganmu terus berputar-putar pada roda kayu kereta itu
Yang kemudian terhenti saat bunga-bunga jambu air mulai berguguran
Menaburi talang air kehidupan yang membasahi ragamu
Ya, aku ingat. Pada batang kayu itu aku memang pernah mengintip harapan
Saat kau sibakkan rambut tebalmu sambil meringkik menggoda sais kereta untuk menari-nari
Kereta kuda malam pada persimpangan
Tak ada lagi gemericik jatuhan air
Juga detak sepatu besi
Hanya kepulan asap rokok yang semakin berpendar ditelan cahaya
Hanya kesunyian yang mengurung ringkik harapanmu
Tak perlu teknologi memang untuk membuat irama pada laju keretamu
Tapi, harus kutuliskan saja apalagi untuk mengurai tawamu itu….
*lirik salah satu lagu Iwan Fals
(Darussalam di Tangerang pada Minggunya 29 Oktober 2006)