Serang- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang memberikan tanggapan terkait penyebaran wabah virus penyakit mulut dan kuku (PMK) yang terjadi pada hewan ternak, terlebih fenomena virus tersebut terjadi menjelang hari raya idul adha yang identik dengan ibadah penyembelihan hewan qurban.
Ketua MUI Kabupaten Serang, TB. A. Khudori Yusuf menjelaskan, sebelum berqurban hendaknya memperhatikan kesehatan dan keutuhan seluruh anggota tubuh hewan yang akan dijadikan untuk qurban.
Selain kesehatan, kondisi hewan qurban harus sempurna fisiknya tidak boleh ada kecacatan seperti buta, pincang dan cacat tubuh lainnya.
“Cermati kondisi hewan yang akan dijadikan untuk qurban, jangan sampai ada cacat fisik,” jelasnya, Selasa, 14 Juni 2022.
Lalu, bagaimana Hukum berqurban dengan hewan yang terjangkit penyakit mulut dan kuku?
TB. A. Khudori Yusuf menerangkan, hewan qurban yang positif PMK dengan gejala ringan seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan kurban.
Sementara hewan ternak yang positif PMK dengan gejala berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas atau menyebabkan pincang, tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus, hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban.
“Hewan positif PMK dengan gejala berat tetapi sudah sembuh dalam rentang waktu kurban (10 – 13 Dzulhijjah) sah dijadikan hewan qurban,” paparnya.
Kemudian, lanjut Khudori, hewan positif PMK dengan gejala berat tetapi sembuhnya telah lewat dari rentang waktu qurban (10 – 13 Dzulhijjah) dianggap sebagai sedekah, bukan termasuk hewan qurban.
“Kalau sudah lewat dari tanggal itu, masuknya sedekah, bukan lagi sebagai qurban,” ungkapnya.
Kiyai yang akrab disapa Abah Khudori menghimbau kepada masyarakat Kabupaten Serang agar berhati-hati dalam proses penyembilahan hewan qurban karena kadangkala dalam proses merobohkan hewan tersebut untuk disembelih tak jarang menimbulkan cacat pada fisik hewan, bahkan menimbulkan patah kakinya hingga terkilir saat proses penyembelihan.
Hewan yang patah kakinya pincang, kata Abah Khudori, pada saat dirobohkan untuk disembelih maka hewan tersebut tidak memadai lagi sebagai hewan qurban (udhhiyah) menurut pendapat yang kuat.
“Ini diqiyaskan pada hewan yang cacat kakinya karena kecelakaan, lalu si pemilik menjadikannya sebagai qurban sebagaimana Imam Nawawi terangkan dalam kitab Majmu’ Syarh Muhazzab,” jelasnya.
Namun, apabila hewan tersebut merupakan hewan yang telah ditentukan sebagai qurban nazar (wajib) maka tetap disembelih sebagai nazar dan berlaku baginya hukum qurban karena kewajiban menyembelih hewan tersebut adalah wajib ‘ain (kewajibannya telah tertentu pada binatang tersebut) namun masih belum memadai sebagai udhiyyah yang diperintahkan syara’.
Editor: Fariz Abdullah