Resensi “Ngacacang” Rohendi; Baduy dalam Pergulatan Seniman dengan Tuhan

Date:

Judul     : Ngacacang
Penulis   : Rohendi
Penerbit : Greensmartbooks PUBLISHING
Terbit    : September, 2012
Halaman :100

Judul     : Ngacacang
Penulis   : Rohendi
Penerbit : Greensmartbooks PUBLISHING
Terbit    : September, 2012
Halaman :100

Memahami Banten, tidak hanya memahaminya dalam konteks cerita mistis,teluh, jawara,  atau debusnya  saja. Tetapi Banten juga kaya akan  seni, budaya, dan kepercayaan agamanya yang kuat. Kekayaan sejarah, budaya, dan folklore menjadi dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Banten masa kini yang begitu kaya.

“Ngacacang” karya Rohendi adalah salah satu bukti bahwa begitu gagah dan kayanya bumi Banten. Di bagian awal, Rohendi mengajak pembaca menjadi seorang pribumi Banten yang kuat. Pembaca akan terperangah mengetahui bahwa Banten adalah dimensi yang terbentuk dari hasil sumbangsih ideologi lokal yaitu kekayaan berbahasa.

Dalam karyanya kali ini, Rohendi tidak bergulat dengan sayatan bunyi, tari, atau rampak bedug yang selama ini melekat pada diri Rohendi. Tetapi untuk karyanya kali ini, Rohendi menjadi seorang penulis  yang  mampu  menerobos  dinding  perjalanan  dunia  kesenian  yang  berada  jauh  dari perkenalannya dengan dunia luar. Dan di dalam karyanya ini pula, Rohendi menceritakan pergulatan dirinya sebagai seniman dengan Tuhan-nya. Hal itu jelas bisa kita tangkap dalam fiksi mininya berikut:

Ali  Rahmatulloh  umareng  Jawa  Dwipa.  Mandeg  sawataring  Banten  nagari,  Rikking  Sang  Alimawarawara haknagami Rasul ing janma pada.Kulisik, halon jasa, bari kebel nyeungeut paneuleu. Angin subuh tungtunganna mah mareuman lalakon lawas Sang Ali Ramhatulloh, dina lelembutan pangacian. Padahal kula ker jadi aulia, karo Sang Ali. Heuh lajuna mah burung, kula lain sasaha, can meujueh suci, cacak ukur ngimpi, pikeun ilu ilu syiar di jalan dia, ya Robb. Gesik geh, Rohendi, dia ngala wudu deui, pangacian ngaharewos

Tidak berhenti sampai di situ, Rohendi terus melakukan eksplorasi terhadap pertautan-pertautan yang dianggap sebagai tali korelasi dirinya dalam berkesenian. Dalam salah satu karya fiksi mininya berikut :

Saémbara # Nu Tutug na Hiji Sawal #

Wirasuta  gilig  deuk  ngadayeuh.  Puun  beurateun  ngaréstuan.  Inyana   maksa.  Bakat  hayangngabaktikeun diri, nyébakeun raga ka nagara. Jog di Karaton Tirtayasa “teu patut, teu parigel,ngalulungka, ngalolongka, majar manéh dek ka girang, ka nu jenengaan  kolot, ka danghyang, kaguriang,  ka  paramunggu,  meuntas-meuntasna  bakuna  mah,  ditarima  henteu  ditarima,  ngansakieu bisana, omongan urang kaluaran, bisi geuleuh, keumeuh, teu parigel, teuing, tabé baéGirang, ti luhur semet rambut, ti handap semet dampal, ti tukang semet kukang, ti gigir semettinggir, ti hareup semet peunteu. Ménta suka hérang, caang padang, tandaning urang kaluaran.”Urang  Banten marelongkeun. Teuing teuteup suka atawa héwa?  Paduli, ceuk carékna.  Sup ka passéban, keur galuntreng. Teu barau sungut, lir  seungit Kasturi.  “Assalamu ‘alaikum dulur, sapeupanjenengan?”  talék  Sultan.  Wirasuta  cacahan.  Song  kadaharan.  Gideug.  “Puasa  Kawalu  cantutug.” Kabéhan kagét. “Saum ogé?” Sultan nyéréngéh, bingah. Wirasuta maratkeun Kawalu kuLebaran Hiji Sawal. Kasultanan jeung Manggala Kanékés, cangra.     

Situasi  kebatinannya  terbang  ke tengah  masyarakat  Baduy. Rohendi  menempatkan  dirinya sebagai  bagian  dari  masyarakat  kanekes  yang  sedang  berdialog  dengan  kontroversi  agama yang dipengaruhi  oleh  sejarah  kemunculan  mereka.  Hal  ini  terjadi  antara  penganut  Islam  dananimisme/dinamisme. Kala itu para masyarakat Baduy menolak untuk menjadi mualaf. Namun, dalam kenyataannya keyakinan masyarakat Baduy memiliki banyak persamaan dengan agama Islam yang mereka tolak. Misalnya dari cara mereka menjalankan ibadah puasa (saum). Bahkan mereka meyakini adanya Adam Tunggal sebagai nabi terakhir, dan dalam agama Islam nabi Adam adalah nabi yang diyakini sebagai nabi pertama yang diciptakan Tuhan.

Fiksi mini menurutnya adalah sebuah esensi dari cerpen atau karya sastra lainnya dalam konteks penuturan  dengan  alur, latar  yang  jelas.  Fiksi  mini  dibuatnya  menjadi  hidangan  ringan,  bila dibandingkan  dengan  novel  atau  cerpen sekali  pun.  Koherensi  dari  tiap  kalimat  menyanyi  merdu sehingga cepat untuk dinikmati walau dalam bahasa yang singkat.

“Ngacacang” membuktikan bahasa Sunda tidak sesulit dan serumit yang orang pikirkan. Karya yang dibuat olehnya adalah upaya untuk memajukan budaya dan bahasa Banten. Seperti pepatah orang Banten lama mengatakan, “Jadi ti batan nyeungceurikan nu poek mongkleng, hayu urang nyiar baralak. Caangan jalan baturnu rek liwat.”

Dengan lahirnya fiksi mini bahasa Sunda Banten yang Rohendi beri judul Ngacacang, semoga menjadi salah satu penerang untuk memulai kejayaan sastra Banten yang telah lama ditebang usia. Mengacu  pada  hal  berikut  di  atas.  Buku  ini  menarik  untuk  memahahami  kehidupan  masyarakat Banten.  Karena  Ngacacang disampaikan  dengan  cara  yang  “renyah”,  menawan ,  dengan  bumbu-bumbu yang jenaka di sana-sini, akhirnya “Ngacacang” menjadi sebuah buku yang menarik untuk dinikmati.

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Mau Tahu Ragam Produk Batik Khas Kota Tangerang? Datanglah ke Kampung Batik Kembang Mayang!

Berita Tangerang - Bagi Anda yang ingin mengetahui ragam...

Mengenal Golok Sulangkar Khas Baduy yang Mematikan: Hanya Bisa Dimiliki ‘Orang-orang Terpilih’

Lebak- Kekayaan alam dan budaya baduy memang seksi untuk...

Akhir Pekan Ala Aleg PKS Banten, Blusukan ke Wilayah Pelosok Lebak hingga Turun Ronda

Lebak- Iip Makmur, Anggota DPRD Provinsi Banten memutuskan untuk...

KPJ Rangkasbitung Rilis Lagu saat Pandemi Corona, Judulnya ‘Jangan Mudik Dulu’

Lebak- Kelompok Penyanyi Jalan (KPJ) Rangkasbitung merilis sebuah lagu...