Cilegon – Tensi politik di Kota Cilegon mulai menghangat menyusul ‘perang’ jargon yang terpasang pada baliho pasangan calon yang akan berlaga pada Pilkada Kota Cilegon 2020.
Adalah pasangan calon independen Ali Mujahidin-Lian Firman yang membuat geger. Mengusung tagline ‘Dinasti dan Korupsi Harus Terhenti’ pasangan yang digadang-gadang maju melalui jalur independen ini berhasil mencuri perhatian publik.
Saat dikonfirmasi awak media Ali Mujahidin mengungkapkan jargon yang diusungnya itu merupakan semangat perubahan. Pasalnya selama 20 tahun terakhir ini Kota Cilegon telah dipimpin oleh dinasti yang sama.
Sementara di sisi lain, Ratu Ati Marliati calon petahana yang juga adik mantan wali kota Cilegon Tb. Iman Ariyadi, percaya diri maju pada Pilkada Cilegon 2020 dengan mengusung jargon ‘Sukses Cilegon Tak Boleh Berhenti’.
Merespon perang jargon tersebut, Ketua Partai Gelombang Rakyat atau Gelora Indonesia Cilegon Hikmatullah menyebut, mestinya publik tidak usah meributkan jargon jangka pendek saja dengan segala konflik turunannya.
“Buat saya, mau ‘Sukses Cilegon Tak Boleh Henti’ atau mereka yang mengusung perubahan dengan aneka jargonnya, hanyalah trik untuk mendapatkan perhatian publik. Karena saya yakin pada substansi yang paling dasar adalah bagaimana agar berkuasa secara legal. Karena pemilu pada hakekatnya bertujuan memilih pemimpin untuk melanjutkan estafet pembangunan bangsa, dalam hal ini Cilegon,” ungkap pria yang akrab disapa Kang Haji dalam keterangan tertulis kepada BantenHits.com.
Menurut Kang Haji, dengan letak geografis Kota Cilegon yang berada di pintu gerbang Pulau Jawa, dengan panjang pantai sekira 25 KM, kondisinya saat ini hampir habis untuk industri dan pelabuhan. Di sisi lain, jumlah penduduk dengan segala potensinya, mestinya hal hal tersebut mampu disodorkan setiap kandidat.
“Bukan jargon pendek yang nihil substansi. Terus terang, saya rindu dengan cawalkot yang maju dengan gagasan membangun dengan master plan Cilegon 50 atau 100 tahun ke depan mau kita apakan? Sehingga jika itu kita miliki bisa menjadi guidance sekaligus visi tiap tiap Calon. Kitapun bisa membaca, mana yang hanya berpikir kekuasaan belaka, atau yang benar-benar berpkir untuk Cilegon dan rakyatnya dalam arti yang sesungguhnya,” tegasnya.
“Kita sudah sama sama merasakan efek pembangunan yang “reaktif” tanpa konsep jangka panjang yang jelas dan baik, dimana kesenjangan ekonomi pendidikan dan konflik antara industri dengan lingkungan karena persoalan penataan yang mestinya menyediakan ruang hijau atau buffer zone misalnya, yang pada ahirnya menyisakan konflik tidak perlu yang berkepanjangan,” sambungnya.
Berbagai permasalah itu, lanjutnya, semuanya terjadi karena pemangku kepentingan tidak memiliki narasi pembangunan Cilegon 50 atau 100 tahun ke depan.
“Sehingga grassroot terus terombang-ambing setiap menjelang pilkada tanpa idealisme berpikir jangka panjang. Paling banter ya jadi timses dengan harapan kalo sudah barhasil jadi walikota maka anu anu anu,” tukasnya.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana