‘Jejak’ Nurhadi Cs di Tangerang; Otak-atik Redaksional Putusan saat Ribuan Massa Nyaris Bentrok Rebutan Lahan 75 Hektar di Kawasan Elit

Date:

KPK Geledah Kantor Lippo Group di Gedung Matahari Lippo Karawaci
Petugas KPK membawa sejumlah dokumen dari Kantor Lippo Group di Menara Matahari, Lippo Karawaci, Tangerang. (Banten Hits/ Hendra Wibisana)

Tangerang – Ribuan massa dari berbagai ormas gabungan di Jakarta dan Banten memadati kawasan Summarecon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Kamis, 16 Mei 2013.

Massa yang membekali diri dengan berbagai senjata, seperti balok kayu dan potongan bambu mencoba mengadang petugas Pengadilan Negeri Tangerang yang ingin membacakan penetapan eksekusi pada lahan seluas 75 hektar.

Ahli waris Tan Hok Tjio berhasil memenangkan perkara atas sengketa kepemilikan lahan tersebut di tingkat Mahmakah Agung (MA). Saat eksekusi akan dilakukan, di lahan ini telah berdiri lapangan golf, gereja Cathedral, dan kawasan bisnis elit lainnya.

Penetapan eksekusi pun saat itu batal dibacakan karena alasan keamanan. Pihak ahli waris Tan Hok Tjio yang kecewa, di hari yang sama balik mengerahkan 2-3 ribu massa dari Front Betawi Rempug ke Pengadilan Negeri Tangerang.

Mereka mengawal ahli waris yang ingin menanyakan alasan penundaan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Tangerang yang saat itu dijabat Ridwan Ramli.

“Sebenarnya hari ini sudah disetujui untuk mengeksekusi tanah kami yang sekarang jadi arena Golf Summarecon. Tapi tiba-tiba ada surat edaran dan kepolisian yang menyatakan eksekusi ditunda, itu yang ingin kami tanyakan,” ujar Romo Sudar, salah seorang ahli waris.

Meski tak mendapatkan penjelasan yang pasti, ahli waris bersama ribuan massa ormas kemudian membubarkan diri.

Proses Eksekusi Dialihkan ke PN Jakarta Pusat

Sejak Kamis, 16 Mei 2013, secara berturut-turut, yakni Senin dan Rabu, 20-22 Mei 2013, ahli waris Tan Hok Tjio kembali mendatangi PN Tangerang untuk meminta penjelasan. Kedatangan mereka kali ini tak dikawal massa. Hanya ahli waris yang berjumlah sekitar 30 orang.

Namun pada Rabu, 22 Mei 2013, ahli waris Tan Hok Tjio harus menelan kecewa, karena Pengadilan Negeri Tangerang kembali melimpahkan proses eksekusi itu kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kepastian ini didapat ahli waris setelah diterima Ketua Pengadilan Negeri Tangerang, Ridwan Ramli.

“Saya sudah menang dan sudan inkrah, kenapa soal eksekeusi dikembalikan lagi ke Pengadilan Jakarta Pusat. Ini kan wilayah Tangerang, seharusnya Ketua Pengadilan yang memutuskan eksekusi yang pernah ditunda itu,” jelas Robert Sitompul, kuasa hukum ahli waris.

Sementara itu, Romo Sudar, salah satu ahli waris juga mengaku kecewa kepada PN Tangerang yang tidak segera melakukan eksekusi dengan alasan faktor keamanan.

“Ini tanah keluarga saya. Seharusnya Summarecon segera menyerahkan tanah tersebut, bukannya dimiliki seperti itu. Apalagi keluarga saya tidak pernah jual kepada pihak SMS,” tegas Romo Sudar.

Seluruh rangkaian peristiwa di atas berhasil diabadikan BantenHits.com dalam laporan tim redaksi 2013 yang terdiri Darussalam Jagad Syahdana, Mas’ud Ibnu Samsuri, Ambadini Sekarningrum, Taufik Saleh, dan Pramitha Noegroho.

Ilustrasi penyidik KPK.(FOTO: Google/lintasberita.com)

Ditangkap KPK

Tiga tahun sejak peristiwa pengerahan massa di Tangerang, persisnya 20 April 2016, KPK menangkap Edy Nasution, seorang Panitera PN Jakarta Pusat di Hotel Acacia, Jakarta.

Selain Edy, KPK juga menangkap Doddy Ariyanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah. Penangkapan KPK kemudian menyeret sejumlah petinggi di perusahaan ternama, seperti Eddy Sindoro, Chairman PT Paramount Enterprise.

Penangkapan ini juga membuka praktik mafia peradilan yang dilakukan Edy Nasution dan Nurhadi yang saat itu menjabat Sekretaris Mahkamah Agung (MA).

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Rabu, 7 September 2016, Edy Nasution didakwa menjadi perantara suap untuk Sekretaris MA, Nurhadi.

Edy didakwa menerima uang sekitar Rp 2,32 miliar untuk pengurusan berbagai perkara dan Rp 1,5 miliar di antaranya untuk Nurhadi.

Setidaknya, ada 3 perkara yang diamankan Edy Nasution, salah satunya terkait lahan 75 hektar di kawasan elit Summareccon.

Dikutip BantenHits.com dari detik.com, dalam dakwaan yang dibacakan di persidangan, Jaksa Penuntut Umum KPK Titto Jailani mengatakan, terdakwa Edy Nasution menerima hadiah uang senilai Rp 1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dan uang sebesar Rp 100 juta dari Doddy Ariyanto Supeno atas arahan Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro.

“Uang sebesar 50 ribu dolar AS dari Agustriadhy atas arahan Eddy Sindoro dan uang Rp 50 juta dari Doddy atas arahan Wresti dan Ervan,” kata JPU KPK.

Doddy adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Eddy Sindoro adalah Chairman PT Paramount Enterprise, Ervan Adi Nugroho merupakan Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International (PEI), Wresti Kristian Hesti Susetyowati adalah bagian legal PT Artha Pratama Anugerah dan Hery Soegiarto merupakan Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP).

Segel KPK terkait OTT di PN Tangerang
FOTO Ilustrasi: Meja kerja panitera PN Tangerang disegel KPK. (dok.BantenHits.com)

Sulap’ Putusan

Jaksa menguraikan, pada perkara pertama, uang Rp 1,5 miliar diberikan agar Eddy melakukan pengurusan perubahan redaksional (revisi) surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raat Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang yaitu agar Eddy Nasution tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.

Seharusnya, berdasar putusan hakim, tanah itu merupakan milik ahli waris Tan Hok Tjiou namun telah dijadikan lapangan golf di Gading Raya Serpong oleh PT JBC.

Pihak ahli waris pun meminta agar jaksa eksekutor segera mengeksekusi lahan yang dikuasai PT JBC itu. Pada saat akan dilakukan eksekusi, PT JBC mengajukan surat keberatan pada 11 November 2013 ke PN Jakpus yang menyatakan untuk sementara tidak dapat dilakukan eksekusi, namun dibalas oleh ahli waris Tan Hok Tjio dengan mengirimkan surat pada November 2014 dan Februari 2015 agar menindaklanjuti pelaksanaan eksekusi.

PT JBC mengetahui adanya permohonan eksekusi lanjutan atas tanah tersebut dari ahli waris melalui kuasanya, kemudian Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho mengutus Wresti Kristian Hesti sebagai staf legal mengurus untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dengan menemui Eddy Nasution selaku panitera/sekretaris PN Jakpus. Pertemuan itu berlangsung pada Agustus 2015.

“Karena setelah beberapa waktu tidak ditindaklanjuti Eddy, maka Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dan meminta untuk membuat surat memo yang ditujukan kepada promotor yaitu Nurhadi selaku Sekretaris Mahkamah Agung (MA) RI guna membantu pengurusannya, setelah itu terdakwa menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar,” ungkap jaksa Titto.

Pada 13 Agustus 2015, Wresti menyampaikan permintaan uang itu kepada Eddy Sindoro dan Ervan melalui BBM yang berisi:

“Pak, pesan sdh disampaikan infor yang diterima ybs jmulahnya 3. Tp stlh saya info, ybs coba tekan ke 2, hasilnya spt itu Pak”,

“..maunya dlm bentuk negeri seberang ya..merlion”

Namun Eddy Sindoro menyanggupinya hanya sebesar Rp 1 miliar. Wresti pun menyampaikan kesanggpuan pemberian Rp 1 miliar itu kepada Eddy Nasution.

“Namun terdakwa melalui telepon menyampaikan bahwa sesuai arahan Nurhadi yang sering disebut Wu, uang tersebut akan digunakan untuk event tenis seluruh Indonesia yang pada akhirnya terdakwa menurunkan permintaan uang tersebut menjadi sebesar Rp 2 miliar,” jelas jaksa.

Wresti pun menyampaikan hal itu melalui BBM kepada Eddy Sindoro dengan mengirimkan pesan berisi:

“Pak, td kawan Pusat menelpon, angka tatap 2 sesuai yang disampaikan Wu kpd ybs. Dia minta secepatnya krn akan dipakai utk event turnamen tenis seluruh Ind. Please advise. Tks”.

“Bpk sdh sampaikan ke sya setengah dr yg dia minta kira2 sepuluh hari yg lalu dan sya sdh sampaikan kpd dia. Dia bilang akan bicara lagi dgn Wu. Dan kmrn dia bilang, tetap dgn jumlah itu yg dia minta itu sbgmana sdh disetujui Wu,”.

Terhadap permintaan uang itu, Eddy Sindoro pun hanya menyanggupi pemberian uang Rp 1,5 miliar. Wresti menyampaikan hal itu pada 23 September 2015 kepada Edy Nasution, dan Edy pun menyetujuinya

“Pada 7 Oktober 2015, terdakwa menagih uang Rp 1,5 miliar kepada Wresti untuk turnamen tenis di Bali,” imbuh jaksa.

Eddy Sindoro pun menyetujui untuk mengambil uang dari PT Paramount Enterprise International (PEI) dan meminta Wresti untuk menghubungi Ervan guna menyiapkan uang. Wresti selanjutnya menghubungi Doddy untuk mengambil uang itu ke Ervan.

Doddy pun mengambil uang dari Ervan pada 26 Oktober 2015 di PT PEI. Selanjutnya Doddy menghubungi Eddy Nasution untuk bertemu di hotel Acacia, Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Uang Rp 1,5 miliar dalam mata uang dolar Singapura pun diserahkan dalam amplop cokelat besar di hotel itu pada sekitar pukul 09.35 WIB.

“Pada 5 November 2015 setelah terdakwa menerima uang dari Doddy Aryanto Kusumo terbit surat jawaban dari PN Jakarta Pusat yang telah ditandatangai oleh Ketua PN Jakpus Gusrizal atas permohonan eksekusi lanjutan. Terdakwa memberitahukan kepada Wresti untuk mempelajarinya,” urai jaksa.

Pada 9 November 2015, setelah Wresti mempelajari surat, ternyata dalam butir terakhir menyatakan bahwa “terhadap eksekusi yang diduduki PT JBC belum dapat diekseksekusi”, kemudian Wresti meminta Edy melalui telepon agar tidak dulu mengirim surat ke pihak pemohon eksekusi.

“Wresti kembali meminta kepada terdakwa untuk melakukan revisi redaksional surat pada pointer terakhir yang telah diberikan tanda berisi kalimat ‘belum dapat dieksekusi’ untuk diganti menjadi ‘tidak dapat dieksekusi’ agar mengacu pada surat ketua PN Pusat yang ditujukan kepada PN Tangerang sebelumnya tertanggal 11 November 2013,” tambah jaksa.

Pada hari yang sama Wresti pun melaporkan ke Ervan terkait usulan revisi itu dan Ervan pun menyetujuinya. Wresti menugaskan Dodi untuk mengantarkan draf revisi itu ke Edy Nasution.

Doddy mengantarkannya pada 10 November 2015 ke Edy, tapi Edy menganggap draft itu sudah benar sehingga pada 11 November Wresti menghubungi Edy Nasution.

Wresti melalui telepon meminta Edy Nasution tidak mengirim surat jawaban dari PN Jakpus dengan alasan akan dikonsultasikan lebih dulu kepada Nurhadi dengan mengatakan:

Pak jangan dikirim dulu ya Pak. karena ini surat besok mau dibawa ke Pak Nur dulu ya, Pak ya’ dan dijawab Edy ‘Iya oke’.

Pada saat itu Edy juga akan menitipkan surat penelitian anaknya di RS Siloam yang nantinya akan diambil oleh DOddy Aryanto Supeno.

Pada hari yang sama Wresti meminta Ervan untuk menyampaikan ke Eddy Sindoro agar meminta bantuan kepada Nurhadi yang disebut “Pak End” yang dianggap sebagai promotor untuk membantu pengurusannya melalui pesan BBM berisi:

“Saran sya begini saja Pak, bsk kan Pak Edy ketemu pak End, mungkin kita minta bantuan Pak End supy yg dipusat revisi srt itu”.

Akhirnya, surat atas jawaban eksekusi itu tidak pernah dikirimkan Edy Nasution kepada kuasa pemohon eksekusi lanjutan. Walau pihak kuasa hukum sudah beberapa kali menemui Edy di ruang kerjanya dengan Edy mengatakan bahwa surat itu belum ada penyelesaiannya.

Editor: Darussalam Jagad Syahdana

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related