Sikap Wakil Rakyat dari Banten soal Rencana Komersialisasi Vaksin; Jangan Nambah Beban Rakyat!

Date:

Ilustrasi: Presiden Jokowi saat disuntik Vaksin COVID-19 oleh vaksinator Wakil Ketua Dokter Kepresidenan, Prof. dr. Abdul Muthalib, Sp.PD-KHOM di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 13 Januari 2021. Penyuntikan Vaksin COVID-19 perdana ke Jokowi menandai dimulainya program Vaksinasi Massal COVID-19 gratis di Indonesia. (Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta – Pemerintah Indonesia dalam kondisi darurat seperti saat ini semestinya bisa memberikan layanan gratis kepada semua masyarakat Indonesia.

Rencana pemerintah yang akan menyediakan layanan vaksin berbayar dinilai akan menambah beban masyarakat.

Demikian disampaikan wakil rakyat dari Banten yang menjabat Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR RI, Mulyanto, Senin, 12 Juli 2021.

“PKS menolak rencana Pemerintah menyediakan layanan vaksin berbayar,” kata Mulyanto melalui keterangan tertulis yang diterima BantenHits.com.

Mulyanto menegaskan alasan Pemerintah membuat kebijakan vaksinasi berbayar sangat tidak rasional. Jika ingin mempercepat herd immunity, harusnya Pemerintah memperbanyak titik layanan vaksinasi secara massif di puskesmas, klinik, kalau perlu di kantor-kantor kelurahan, kantor RW dan posyandu. Bukan dengan mudahnya membuka layanan vaksin komersial bagi sebagian masyarakat.

“Karena secara prinsip vaksinasi adalah tanggung-jawab pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung-jawab tersebut,” ucapnya.

“Jangan sampai masyarakat yang tidak mampu terpaksa harus membeli vaksin mandiri ini,” sambungnya.

Khawatir Vaksin Gratis Jadi Langka

Mulyanto pun lantas membandingkan besaran bantuan sosial yang diterima masyarakat miskin sebesar Rp 300 ribu per bulan per keluarga selama Pandemi COVID-19. Nilai Bansos itu menurutnya masih belum bisa untuk membeli vaksin.

“Bansos yang Rp 300 ribu/bulan/keluarga tidak sebanding dengan harga vaksin Sinopharm yang lebih dari Rp 300 ribu/dosis, apalagi kalau harus disuntik dua kali untuk dosis lengkap,” ujar Mulyanto.

Selain itu, Mulyanto khawatir, setelah program vaksin berbayar ini dilaksanakan, kuota vaksin gratis bukannya ditingkatkan, tetapi perlahan-lahan berkurang. Padahal target sebaran vaksinasi sudah ditetapkan dan anggarannya sudah disiapkan.

Bahkan, kebijakan ini rentan dimanipulasi pihak yang mencari keuntungan, dengan mengalihkan vaksin gratis menjadi vaksin berbayar. Akibatnya, vaksin gratis menjadi langka.

Karena itu daripada Pemerintah repot memikirkan sistem pengawasan distribusi vaksin gratis secara ketat, lebih baik kebijakan dualisme vaksin ini dibatalkan.

“Walaupun jenis vaksin antara program mandatori dan program mandiri berbeda, namun dalam prakteknya masyarakat tidak bisa melihat dan membedakan kedua jenis vaksin tersebut,” jelasnya.

Modus tersebut, lanjut Mulyanto, sangat mungkin dan kerap terjadi untuk komoditas lain, khususnya barang subsidi, seperti gas melon 3 kilogram, pupuk subsidi, atau solar, dimana komoditas subsidi dialihkan menjadi komoditas komersial.

“Ujung-ujungnya, karena vaksin gratis menjadi langka, maka rakyat terpaksa mengikuti vaksin berbayar. Ini kan bahaya. Akan merugikan rakyat,” tegas Mulyanto.

Legislator dari Banten, Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan (FPKS), Mulyanto saat rapat di Gedung DPR RI. (Foto: Dok. Tim Media Mulyanto)

Percepat Riset dan Produksi Vaksin Merah Putih

Selain itu, Mulyanto, yang Anggota Komisi VII DPR RI, menyarakan sebaiknya Pemerintah fokus mempercepat riset dan produksi vaksin Merah Putih, yang tengah dikembangkan Konsorsium Riset Covid di bawah koordinasi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), sebagai instrumen mencapai herd immunity masyarakat. Pemerintah jangan terlalu mengandalkan vaksin impor.

Selama ini Mulyanto melihat Pemerintah terkesan adem-adem dan membiarkan riset vaksin inovasi domestik ini berjalan bisnis as usual. Tidak seperti sikap pemerintah terhadap vaksin impor.

Padahal penggunaan vaksin Merah Putih sangat penting sebagai upaya untuk membangun keunggulan SDM dan kemampuan inovasi domestik. Dengan demikian Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan sekedar menjadi pasar bisnis vaksin semata.

“Sayang anggaran dari utang yang terbatas ini terkuras habis untuk membeli puluhan juta vaksin impor,” kata Mulyanto.

Mulyanto prihatin saat ini dana untuk riset vaksin di LBM Eijkman tidak lebih dari 10 M. Angka ini jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan dengan dana untuk impor vaksin yang ratusan triliun rupiah. Seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana riset yang cukup, sehingga vaksin Merah Putih dapat diproduksi lebih awal.

“Tapi nyatanya, dalam RDP Komisi VII DPR RI dengan Konsorsium Riset COVID-19 terakhir dilaporkan, bahwa produksi Vaksin Merah Putih mundur, disebabkan karena BUMN Bio Farma tidak siap kalau vaksin tersebut didasarkan pada protein rekombinan mamalia,” bebernya.

Mulyanto menambahkan, fasilitas produksi BUMN Bio Farma hanya siap kalau vaksin yang dikembangkan berbasis protein rekombinan ragi (yeast). Karenanya terpaksa LBM Eijkman harus banting setir mulai dari nol lagi untuk mengembangkan riset vaksin berbasis ragi.

“Kalau poco-poco seperti ini terus, kita jadi pesimis. Sampai kapan Vaksin Merah Putih dapat diproduksi dan didistribusikan kepada masyarakat,” tandas Mulyanto.

Editor: Fariz Abdullah

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related