Jakarta – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agum Gumelar dinilai tak memiliki itikad dengan mengambil langkah baik untuk menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1998. Agum sebaiknya membuka kasus penculikan aktivis 98 secara resmi agar bisa memberikan manfaat untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan politik elektoral sesaat.
Hal tersebut disampaikan Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyikapi langkah Agum Gumelar yang membeberkan pemecatan Prabowo Subianto menjelang Pilpres 17 April 2019.
Isu penculikan yang menerpa Prabowo nyaris setiap lima tahun sekali disuarakan oleh para lawan politiknya. Isu penculikan tak digaungkan hanya ketika Prabowo Subianto bersedia menjadi calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2009 silam.
“Jadi, tanpa membawa dokumen tersebut ke jalur yang seharusnya dan hanya membukanya di media maka terkesan itu hanya langkah politik elektoral jelang pemilihan presiden ketimbang langkah baik untuk menyelesaikan perkara penculikan dan penghilangan aktivis,” kata Usman seperti dilansir tirto.id, Selasa sore, 12 Maret 2019.
Usman mengatakan, hasil penyelidikan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait kerusuhan 1998 itu hanya bersifat internal dan terbatas pada lingkungan militer yang ketika itu masih bernama ABRI. Salah satu anggota DKP itu adalah Agum Gumelar.
Jika ingin dibuka, kata Usman, maka sebaiknya dilakukan secara resmi agar memberikan manfaat yang positif bagi upaya pengusutan perkara kemanusiaan ini.
“Pertama, dalam kapasitas resminya sebagai anggota Wantimpres, Agum Gumelar dapat memberi pertimbangan kepada Presiden, lalu Presiden dapat memerintahkan Panglima TNI bersama Menhan untuk mau menyerahkan dokumen tersebut kepada Presiden sesuai hukum yang berlaku. Demi nama baik TNI dan juga pemerintah secara umum,” jelasnya.
Kedua, lanjut Usman, Presiden dapat langsung memanggil Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk dapat menerima dokumen laporan DKP.
Usman menilai dokumen itu sangat penting karena selama ini Jaksa Agung selalu beralasan tidak cukup bukti untuk bisa meningkatkan penyelidikan Komnas HAM ke fase penyidikan.
“Dengan hasil DKP tersebut diserahkan kepada Komnas HAM dan atau Jaksa Agung, maka semestinya polemik di kedua lembaga tersebut dapat menemukan solusi,” terangnya.
Dan ketiga, sambung Usman, untuk membantu kelancaran tugas-tugas Jaksa Agung selanjutnya, Presiden dapat segera menerbitkan Keppres tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
“Hal ini sesuai dengan rekomendasi DPR-RI pada tahun 2009, yang antara lain menyarankan pembentukan pengadilan tersebut dan pencarian kejelasan nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang. Dokumen DKP akan sangat membantu para petinggi lembaga negara yang berniat untuk menyelesaikan perkara ini,” jelasnya.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana