Jakarta – Kesiapan siswa pendidikan dasar dan menengah menghadapi sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama Pandemi COVID-19, berbeda dengan mahasiswa.
Mahasiswa cenderung bisa menyelesaikan atau mencari solusi sendiri. Sementara siswa sekolah dasar mereka tidak bisa bertahan lama di depan layar komputer.
Karenanya, pemerintah harus bertindak dan turun langsung terutama kepada sekolah dasar dan menengah untuk memberikan sosialisasi sehingga tidak terjadi lost generation.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam diskusi daring yang diselenggarakan Universitas Paramadina bertajuk “Tantangan dan Masalah Kritis Pendidikan di Masa Pandemi”, Rabu, 8 September 2021.
“Jika tidak ada standar yang jelas maka PJJ ini akan hanya seperti ngobrol-ngobrol saja antara pengajar dan siswa,” kata Didik seperti dilansir dalam keterangan tertulis kepada BantenHits.com.
“Perlu gerak cepat dari pemerintah untuk mengatasi ini. Karena untuk siswa sekolah dasar mereka tidak bisa bertahan lama di depan layar komputer. Hanya sekitar 5-10 menit, maka dibutuhkan pendekatan khusus untuk mengatasi dan membuat PJJ ini menjadi efektif,” sambungnya.
Saat ini, lanjut Didik, dunia pendidikan tidak punya pilihan lain selain melakukan pembelajaran daring atau PJJ. Walaupun COVID-19 selesai, kegiatan PJJ akan tetap dilakukan setidaknya 50 persen.
“Menurut survei 60-70% dosen ingin tetap melanjutkan PJJ sedangkan 50% mahasiswa ingin melakukan pembelajaran tatap muka.” ungkap Didik.
Sementara, Prof. Edy Suandi Hamid Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan, memasuki era covid, semua sektor kehidupan menjadi terganggu salah satunya adalah pendidikan.
“Belajar mengajar tidak hanya berubah tetapi juga terganggu karena metode belajar jarak jauh berubah dan tidak ada standar yang memadai,” ucap Edy.
Keadaan seperti ini, kata Edy, memaksakan untuk melakukan PJJ apa adanya. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas pada kegiatan belajar mengajar.
Menurut Edy, meskipun ada peningkatan nilai ujian pada mahasiswa tetapi hal ini bukan merupakan indikasi adanya peningkatan kualitas belajar mengajar.
“Belajar online seperti sekarang juga tidak ada panduan yang memadai dari Kemendikbud yang juga tidak turun tangan secara sigap menghadapi keadaan mendadak ini,” jelasnya.
Menurut Prof. Edy, sampai tahun kedua pandemi COVID-19 ini belajar online tetap tidak memadai pelaksanaannya, karena berjalan apa adanya dan dijalankan menurut sekolah dan perguruan tinggi masing-masing.
Sebelum terjadinya pandemi COVID-19, sebetulnya sudah ada gagasan untuk dilakukannya PJJ dan telah dibuatkan peraturan menteri (permen)nya.
Ada 3 pilihan dalam permen tersebut, yakni yang pertama berbasis mata kuliah, program studi, atau berbasis universitas. Saat itu juga telah dilakukan pelatihan-pelatihan namun tetap dianggap sulit.
“Terjadinya pandemi ini membuktikan bahwa hal ini mungkin untuk terjadi walaupun belum banyak persiapan yang dilakukan, masih tergagap, serta belum sesuai dengan yang seharusnya. Pemerintah seharusnya turun tangan lebih sigap untuk mengatasi masalah gagap dunia pendidikan seperti sekarang,” beber Edy.
Edy menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam kegiatan PJJ terutama dalam sosialisasi, sehingga semua perguruan tinggi dapat menerapkan kegiatan belajar jarak jauh dengan lebih baik.
“Berikan sosialisasi sehingga semua perguruan tinggi dapat menerapkan kegiatan belajar jarak jauh dengan lebih baik karena telah sesuai dengan standar yang benar sehingga kualitas belajar tetap dapat ditingkatkan,” imbaunya.
Ketua Prodi Islam Madani Universitas Paramadina, Dr. M. Subhi Ibrahim menambahkan, ketidaksiapan menghadapi pandemi menjadi sebuah kritik bukan hanya kepada dunia pendidikan tetapi juga terhadap budaya di masyarakat.
“Dalam konsep PJJ dapat dikatakan semua orang tidak siap. Bukan hanya tenaga pengajar tetapi juga para orangtua terutama pada pendidikan dasar, karena adanya pengalihan kewajiban dari institusi sekolah kepada keluarga di rumah,” kata Subhi.
Kegiatan PJJ ini juga memang harus didukung dengan adanya sarana prasarana sehingga bisa menjadikannya sempurna.
“Dengan tatap muka langsung kita menghadapi sosok totalitas manusia yang tidak mungkin bisa digantikan oleh teknologi. Namun kita harus terus sadar bahwa masa depan memang akan seperti ini,” terangnya.
Subhi mengungkapkan, penelitian Munif Latief yang menyatakan bahwa guru-guru di sekolah dasar dan menengah yang siap untuk melaksanakan PJJ hanya 8-10% dan yang lainnya hanya pasrah.
“Pemerintah atau Kemendikbud seharusnya turun tangan mengatasi gagap terhadap keadaan seperti ini sehingga masyarakat akademis lebih siap dari keadaan sekarang. Jika terus terjadi gagap seperti ini maka pendidikan akan jauh terus mengalami kemerosotan,” jelasnya.
Menurut pengamatan Subhi, PJJ terlihat sangat berbeda terutama di daerah-daerah yang memang masyarakatnya memiliki keterbatasan dalam penggunaan teknologi itu sendiri. Keadaan di daerah lebih parah lagi, karena selain tidak siap juga tidak memiliki infrastruktur yang cukup.
Editor: Darussalam Jagad Syahdana