“Ilmu pengetahuan telah menghapuskan jarak,” kata Melquiades, seorang Gipsi dalam cerita Seratus Tahun Kesunyian yang ditulis pemenang Hadiah Nobel Gabriel Garcia Marquez. “Dalam waktu dekat, orang akan mampu melihat apa yang terjadi di mana saja di dunia ini tanpa perlu meninggalkan rumahnya.”
Apa yang diungkapkan Melquiades semakin mendekati kenyataan. Masa lalu dan saat ini, seolah tanpa sekat. Bahkan masa depan pun–jauh sebelum Melquiades memamerkan temuan-temuan ilmuwan hebat di Macedonia–dikabarkan sudah bisa diramalkan. Lewat kemajuan tekhnologi hasil ilmu pengetahuan, saya tak butuh lagi menelusuri alamat dan jejak teman-teman di masa lalu. Sekali “klik” saya bisa terhubung dengan apapun yang saat ini sudah jadi kenangan.
Melquiades yang Gipsi saya yakin tak alfa menyadari. Dengan ilmu pengetahuan orang memang bisa menikmati dunia tanpa harus ke mana-mana. Namun, ilmu pengetahuan tak datang begitu saja. Kita butuh “ke mana-mana” meninggalkan rumah dan kampung halaman, bahkan meninggalkan kenyamanan dan kemapanan sekalipun.
Kita tak pernah membayangkan, berapa jauh jarak antara tanah Arab dengan China saat pepatah Arab “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina” pertama kali dikenal. Saat ini, jarak Arab dan Cina mungkin hanya sekedipan mata.
Ilmu pengetahuan tak datang secara instan. Butuh laku khusus dalam “sunyi” untuk mendapatkan pencapaian itu. “Sunyi” yang saya maksud di sini mungkin dialami dalam kondisi berbeda oleh setiap orang. Yang jelas proses pencapaiannya butuh jalan yang tak gampang.
Mungkin karena itupula, kenapa wahyu pertama kali yang diterima Muhammad SAW harus disampaikan ketika Muhammad sedang melakukan laku “sunyi” di Goa Hira.
Menceritakan tentang proses pencapaian ini, saya ingat ungkapan yang diwariskan dari mulut ke mulut oleh keluarga saya di lingkungan adat Sunda: kudu kuru cileuh kentel peujit. Jika diterjemahkan bebas, ungkapan itu berarti mesti mau mengurangi waktu tidur dan sering menahan lapar (puasa) jika ingin sukses saat belajar.
Bagi seorang muslim, bahkan laku mengurangi jam tidur dan menahan lapar saja belum cukup untuk menuju pencapaian. Ilmu bagi Muslim diyakini adalah cahaya. Dan untuk mendapatkan cahaya, muslim yang baik harus pandai mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemilik Cahaya.
Laku sunyi dan obat kegersangan jiwa
Laku sunyi saat ini tak hanya ditempuh oleh orang yang sedang dalam masa pencapaian sebuah ilmu (baca belajar). Kini, orang-orang yang setiap hari disibukan dengan rutinitas yang memakan banyak energi fisik dan mental, mulai mencari-cari ramuan ampuh yang dapat mengobati kegersangan jiwa mereka.
Jiwa-jiwa mereka telah dibuat lelah oleh rutinitas. Mereka butuh tenang dan melepaskan gelisah. Lihatlah, kini tempat-tempat yoga menjadi pelarian bagi mereka yang setia terhadap rutinitas. Adapula mereka juga memilih pergi jauh dari hal-hal yang dapat menghubungkan dengan rutinitas. Pendek kata, mereka yang lelah, butuh sejenak melepaskan diri dengan laku sunyi…