Pernahkah anda mendengar tari cokek? Tarian asal Tangerang ini ternyata sudah banyak variasinya. Yunus Ahmad Sanusi, adalah orang di balik lahirnya berbagai macam jenis tarian cokek.
Karya terakhirnya, tarian “lenggang cisadane” hendak dipatenkan untuk menjadi tarian identitas Kota Tangerang.
Sudah dari 1994 lalu, pria asal Ciamis, Jawa Barat ini menginjak Kota Tangerang. Pada tahun itu, Yunus, sapaan akrab pria 44 tahun itu, berusaha mengenal lebih dekat seperti apa tari cokek itu.
“Saya sampai pergi ke rumah pengantin atau pusat hiburan agar bisa nonton tarian cokek,” ungkapnya mengenang awal perkenalannya dengan tarian khas Tangerang pesisir ini.
Saat itu, jelasnya, cokek dikenal sebelah mata karena lokasi menarinya di tempat hiburan. Ingin merubah pandangan orang terhadap tarian pesisir Tangerang ini, Yunus berniat memodifikasi gerakan Cokek dengan menggabungkan berbagai jenis tarian dari daerah Parahyangan dan Betawi.
“Saya menggabungkan gerakan pada tari topeng betawi, jaipong dan ketuk tilu dari Jawa Barat, dan tari topeng tangerang,” ujarnya saat ditemui di halaman sekolah SMAN 5 Kota Tangerang.
Seiring mempelajari cokek—mulai dari sejarah gambang kromo sebagai musik pengiring, hingga unsur gerakan tariannya—Yunus berhasil menciptakan beberapa jenis tarian pengembangan dari cokek.
Di tahun 2006, Yunus melahirkan karya pertamanya yang dia beri nama “rengkak cokek”. Saat yang bersamaan, tarian “bentang tangerang” pun berhasil diciptakannya. Tahun 2008, Yunus berhasil menciptakan tarian “lenggang marawis”. Menurutnya tarian ke tiga yang dia ciptakan berdasarkan filosofi Kota Tangerang yang berakhlaqul kharimah.
Masih di tahun 2008, tarian “lenggang cisadane” berhasil Yunus lahirkan.
“Rencananya tarian ini akan disahkan menjadi tarian identitas Kota Tangerang,” ujar pria yang tengah menyelesaikan tesis S2nya di kejuruan Seni Tari UPI Bandung.
Selain masih dalam proses peresmian, di tempat kuliahnya, Lenggang Cisadane sudah dilirik pengamat tari tradisional Seni Tari UPI untuk dipelajari sebagai kurikulum perkuliahan.
Hebatnya lagi, salah satu tarian ciptaannya, “bentang tangerang” sudah tiga kali berturut-turut mengikuti Festival Krakatau di Lampung.
Diakuinya, saat itu dari tahun 2007 hingga 2009, Yunus tidak pernah absen selalu mengirimkan penarinya yang dia bina di ekstrakulikuler seni tari SMAN 4 Kota Tangerang.
Selain itu, daerah Surabaya dan Semarang, pernah juga dia datangi untuk memperlihatkan kepiawaian tim penari anak didiknya ke masyarakat yang kental dengan suku Jawa itu. Saking bangganya dengan cokek, Yunus mengangkat tarian ini sebagai pembahasan tesisnya.
“Saya membahas mulai dari sejarah adanya cokek di Teluk Naga hingga saya berhasil menciptakan berbagai inovasi gerakan cokek yang bisa masyarakat nikmati saat ini,” kata pria yang pandai menari sejak dia duduk dibangku SMK Kejuruan Karawitan Bandung, Jawa Barat.
Kini, selain aktif sebagai pengajar tari di SMPN 20 dan SMAN 6 Kota Tangerang, Yunus pun membuka sanggar tari tradisional khususnya tari cokek yang berlokasi di rumahnya. Dengan dibukanya sanggar tari itu, Yunus bisa bernafas lega karena regenerasi penerus tari cokek sudah ada hingga akhirnya usia Yunus menua.
“Lebih dari lima anak didik saya yang menguasa cokek diterima di Seni Tari UNJ. Sekarang pun jadi pelatih cokek di sanggar saya. Ini membuat saya bangga,” akunya dengan mimik haru. Cokek adalah tarian khas masyarakat Tangerang. Kini, di tangan Yunus Ahmad Sanusi cokek bisa lebih lestari dan berinovasi.(Rus)