Guru Honorer Berprestasi Bertani dimasa Pandemi

Date:

Anggota DPRD Lebak, Dian Wahyudi (kanan) dan Guru Honorer Deni HD (kiri) saat panen padi. (istimewa)

BantenHits- Sosoknya mudah dikenal, karena selain supel bergaul juga berjiwa sosial yang tinggi. Deni Husen Diani yang akrab dipanggil Deni HD, merupakan pribadi yang sederhana tetapi dibalik kesederhanaannya memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap wilayahnya. Lama merantau di Lampung, jiwanya merasa terpanggil untuk pulang ke kampung halaman.

Untuk mewujudkan niatnya untuk terlibat aktif membangun kampung halaman, Deni aktif di dunia pendidikan, tercatat dari pengalamannya beliau pernah mengajar menjadi tenaga honorer sejak tahun 2006 di SMAN 1 Panggarangan dan SMAN Panggarangan filial Gununggede. Selama mengajar di SMAN 1 Panggarangan, Deni pernah diberikan amanah menjadi Pembina OSIS di tempat beliau mengajar.

Selama mengajar menjadi Guru Honorer, tidak membuat Ayah dari 4 orang anak ini berpangku tangan, justru sarat dengan berbagai prestasi, Deni pernah dinobatkan sebagai guru pavorit, juga berbagai prestasi lain, tahun 2016 menjadi peringkat pertama peraih nilai UKG guru sejarah se-Kabupaten Lebak, dilanjutkan tahun 2017 menjadi utusan provinsi Banten mewakili guru sejarah SMA mengikuti Kemah Guru di wilayah perbatasan (KAWASAN) bertempat di Kabupaten Rote Ndao Provinsi NTT.

Menurut pengakuannya, Modal dalam beraktifitas adalah kerjasama dan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lembaga, terutama dengan lembaga-lembaga sosial, bersinergi dalam beberapa program, semisal penyaluran hewan kurban, menggaji guru ngaji yang kurang mampu dalam ekonomi, pemberdayaan warung Syariah, terlibat dalam pembangunan mesjid dan pondok pesantren, selain itu juga memfasilitasi baksos khitanan massal dan lain-lain, jelas suami dari Siti Fatlah tersebut.

Saat saya temui beberapa hari yang lalu, Deni sedang panen pare huma (padi ladang) beas beureum (beras merah) tiga jenis varietas, yaitu jenis beras merah Tambleg, Salak dan Bunar.

Beberapa pekan sebelumnya, saya memang diundang oleh beliau untuk datang dan ikut panen padi. Saya langsung mengiayakan akan hadir. Saat saya ikut panen, hari itu sudah panen hari kedua. Keluarga dan tetangganya ikut memanen padi.

Panen pare huma, memberi saya ingatan nostalgia saat ikut panen padi sawah di zaman baheula, saat di kampung keluarga kakek, panennya masih menggunakan Etem atau Ani-ani, tidak di arit seperti panen padi sawah saat sekarang. Pare huma hasilnya kemudian diikat, istilahnya pocong, kemudian dijemur di rangkaian bambu, yang disebut lantaian. Mengambil, mengikat dan menjemur padi memiliki kearifan lokal dan seni tersendiri dibandingkan dengan panen padi zaman sekarang.

Saat saya tanya, memang di daerah tersebut terdapat kasepuhan adat. Deni menjawab tidak ada. Ternyata alasan beliau menanam jenis padi huma, karena sebelumnya di tanah tersebut dan sekitarnya terdapat hektaran kebun sawit perusahaan yang tanahnya menyewa dari warga, yang saat ini sudah habis masa sewanya, termasuk tanah keluarga beliau.

Maklum tanaman sawit selalu menyedot air, sampai kandungan air disekitar kebun dipastikan kering, atau air menjadi berkurang. Makanya sudah beberapa tahun ini, Deni dan keluarganya menanam berbagai tanaman, di tanah keluarganya tersebut seluas sekitar 3 hektar persegi.

Selain pare huma, tanah juga di tumpang sari, sebelumnya menanam jagung, di tanah sekitar miliknya, juga menanam Bonteng Puan alias Timun Suri. “Sugan ka ala pas puasa (semoga bisa panen saat bulan Ramadhan), ujar Deni sumringah.

Kondisi tanah harus dikembalikan, agar subur kembali, kandungan air juga semoga kembali membaik, makanya kami juga menanam berbagai jenis kayu di sekitar kebun, juga pisang.

Upaya yang menurut saya mulia, mengembalikan kesuburan tanah setelah bertahun-tahun tanah mereka digunakan oleh perkebunan sawit, yang biasanya malah cukup banyak menyedot sumber air, alih-alih memberi manfaat untuk warga sekitar.

Disaat istirahat memanen padi, kami diajak menikmati Dugan hijau cuak merah… Alhamdulillah, Subhanallah segar sekali ditengah panas terik.

Juga disuguhi menyantap liwet nasi merah, jarang-jarang saya menikmati liwet nasi merah, biasanya di bikin nasi timbel.

Wah.. maknyus juga ternyata, apalagi ditemani goreng ikan mas, atau pilihan lain dengan ikan asin peda merah, dengan lalapan rebus daun singkong dan pucuk daun pepaya, di cocol sambel pedas.

Kami selanjutnya banyak ngobrol terkait banyak hal, utamanya pertanian dan Destinasi wisata. Guru Honorer dimasa pandemi sambil bertani bagi saya memiliki nilai lebih, peduli dengan kondisi lingkungan, sambil mengedukasi warga sekitar kembali menyuburkan tanah. Bercocok tanam berbagai jenis tanaman yang dapat menghasilkan rupiah, daripada berpangku tangan, disela waktu luang lebih baik bertani, badan sehat, segar, juga menghasilkan uang. Boleh juga nih.

Penulis: Dian Wahyudi Anggota DPRD Lebak, Fraksi PKS

Author

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Menikmati Jalur Mudik Lebak

BantenHits - Selama bulan Ramadan saya melakukan kunjungan dua...

Mencari Independensi Media Dalam Pemberitaan Politik

Bantenhits - Peran media dalam panggung politik kontemporer semakin...

Gunung Batu Desa Anti Korupsi

Bantenhits - Beberapa waktu yang lalu, Selasa, 31 Januari...

Geger Sambo dari Perspektif Mahasiswa Komunikasi; Catatan Kritis untuk Perubahan Polri

Mata publik seolah tak pernah berhenti menguntit setiap detail...