Seorang kawan–yang di kemudian hari menjadi pemimpin di sebuah lembaga negara–berkata dengan berapi-api kepada saya dalam sebuah pertemuan yang tak disengaja, di sebuah kota dengan masa lalu yang suram. Dia bilang, “Kita sudah memberi kesempatan kepada mereka untuk memimpin, tapi selalu berakhir dengan catatan hitam. Sudah saatnya yang muda mengambil peran!”
Saya memilih pasif mendengarkan cerita si kawan sambil sesekali manggut-manggut supaya terkesan serius mendengarkan cerita tersebut. Meski wajah saya terlihat serius mendengarkan cerita si kawan, pikiran saya justru menerawang pada kehidupan kawan itu bersama komunitas tempatnya beraktivitas.
Dalam ingatan saya melekat sebuah komunitas yang dihuni oleh sekelompok anak muda yang saya yakini memiliki energi yang luar biasa untuk melakukan perubahan di lingkungannya. Namun, alih-alih daya tersebut digunakan untuk sesama, sekelompok anak muda ini larut dalam sebuah proses untuk mencapai titik: kuasa dan harta.
Secara turun temurun, orang-orang di dalam komunitas ini mewariskan semangat supaya setiap individu mengeluarkan daya juang–bila perlu mengeluarkan daya di luar batas kemamuannya–untuk mencapai dua hal tadi. Singkat kata, ukuran keberhasilan buat mereka adalah ketika individu bisa berkuasa atau memiliki banyak harta.
Alur cerita dalam kepala tiba-tiba terhenti ketika kawan tadi mengajukan sebuah pertanyaan. “Anda setuju dengan pendapat saya?” tanya si kawan. Saya mengangguk–namun lebih tepat manggut-manggut–bukan karena setuju, namun karena heran seheran-herannya dengan kawan saya tadi.
Dua pertanyaan kemudian mencuat dari cerita si kawan tadi. Pertama, bagaimana mungkin si kawan tadi bisa menjadi pemimpin yang baik jika dia tak pandai untuk mendengarkan? Sepanjang ceritanya, kawan saya tadi lebih cenderung ingin didengarkan. Dia terus meyakinkan bahwa dia punya kemampuan untuk memimpin.
Satu hal yang saya catat, ambisi dia telah berhasil membunuh kepekaan dia. Rasa peka yang semestinya bisa menyentuh apa yang sedang saya pikirkan. Seseorang yang terlatih kepekaannya, akan mampu mendengar bisikan dari relung hati paling dalam sekalipun. Seseorang yang terlatih rasa pekanya akan mampu merasakan getaran lapar dari sesama meski rasa lapar itu tak pernah diverbalkan.
Rasa peka ini akan muncul sendirinya ketika terjadi interaksi intens yang manusiawi dengan sesama dan lingkungan. Rasa peka ini tak bisa dibungkus dengan citra, lewat ingar-bingar ambisi meraih kuasa dan harta berlebihan. Peka itu sunyi. Itulah kenapa dia bisa menangkap hal yang “tersembunyi”. Bagi seorang pemimpin, bukankah kepekaan adalah elemen penting?
Dalam kolom “Udar Rasa” di Harian Kompas Minggu (22/03/2014), Bre Redana menuliskan, “transformasi dari dunia konkret berdarah-daging menjadi dunia image, citra, atau sebutlah dunia kenyataan gadungan, dipastikan memiliki sumbangan terhadap guncangan yang terjadi pada jagat besar maupun jagat kecil manusia. Unsur-unsur serupa empati, tepa selira, rasa sungkan, malu, dan semacamnya, bisakah berkembang ketika hubungan sosial antarmanusia dimediasi oleh citra?”
Kedua, dengan melabeli diri “muda” apakah kawan tadi bisa menjamin untuk lebih baik dari kelompok yang dia sebut “tua”? Dalam konteks usia, tua dan muda bisa kita dikotomikan. Maka berlakulah pernyataan klasik, “muda berperan, tua menceritakan”. Saat ini, tua dan muda tak menjadi jaminan untuk mampu mengekang ambisi meraih kuasa dan harta berlebihan.
Pada akhirnya, kita tak bisa begitu saja percaya terhadap mereka yang datang dengan label “muda”. Terhadap “muda” kita mungkin punya harapan, bukan jaminan. Masih butuh pembuktian. Bukankah justru “muda” lebih punya daya luar biasa untuk mengejar harta dan kuasa?? Yang mesti diingat, perilaku koruptif selalu bersumber dari ambisi mengejar harta dan kuasa.. Adakah manusia muda jaman sekarang yang bisa mengekang keinginan untuk meraih harta dan kuasa berlebih?